Indosat Blog Contest (SinyalKuat.co.cc)
Custom Search

Selasa, 10 Februari 2009

sejarah pers indonesia

Banyak peristiwa masih akan terjadi dan bisa dicatat, atau terlupakan, dalamperkembangan Pers Indonesia. Pergulatan menuju pers bebas--danberetika--sedang berkecamuk. Jatuhnya Soeharto, Mei 1998, segera memberiruang terbuka bagi sesak nafas yang diderita Pers Indonesia hampir selamatiga dasawarsa. Sesaat kemudian, serbuan demam kebebasan mewabah.Suara-suara cemas terhadap anarkhi--dipicu oleh pers yang takterkontrol--demikian kata sejumlah kalangan—ramai disuarakan. Tuntutandikembalikannya “era normal” muncul dari sejumlah wakil rakyat, pejabatpemerintah dan segolongan masyarakat: Pers Indonesia sudah kebablasan[1],kontrol dan tindakan tegas harus kembali diterapkan.

Namun, yang tersisa dari jatuhnya kekuasaan tiran adalah kevakuman otoritas.Gagasan mengontrol kebebasan (pers) yang baru didapat, tidak mendapattempat. Justru Departemen Penerangan[2], lembaga kontrol yang dua dasawarsalebih menjadi hantu pencabut nyawa bagi pers, dibredel oleh PresidenAbdurrahman Wahid, pada Oktober 1999. Presiden Wahid yang baru terpilih itumenegaskan, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusanpemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrolnegara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Masyarakat, tentunya. Itusebabnya dua tahun terakhir ini (kelompok tertentu) masyarakat aktif“mengontrol” pers, dengan menduduki kantor redaksi, mengintimidasi wartawandan memaksakan agar versi mereka dimuat di pers. Babak baru perkembanganpers Indonesia sedang berlangsung, belum ketahuan ke mana arahnya

Yang sudah diketahui, catatan sejarah pers di Indonesia tidak lain adalahrekaman tekanan, intimidasi dan pemberangusan. Pers Indonesia terperangkapdalam ranjau-ranjau peraturan dan sensor yang dipasang pemerintah.Pengalaman di Indonesia, kebebasan itu seakan-akan merupakan berkah atauhadiah dari penguasa baru—yang muncul menggantikan penguasa otoritersebelumnya. Periode kebebasan pers pernah dinikmati media di Indonesia padatahun 1945-1949, ketika merdeka dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang;kemudian tahun 1966-1972, setelah tumbangnya Soekarno, dan paska tumbangnya Soeharto.

Jatuhnya Soeharto ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri berbagaipersoalan. Periode transisi, di era Presiden Habibie berlanjut ke PresidenAbdurrahman Wahid, suasana keterbukaan justru memunculkan berbagai persoalanbaru yang lebih kompleks, tidak sekadar hitam-putih.Rezim Habibie, tidak punya pilihan lain, selain harus melakukan liberalisasidan itu pun bukan tanpa ancaman. Era Abdurrahman Wahid memperlihatkankesungguhan untuk mengadopsi kebebasan pers, namun masih harus ditunggusejauh mana keseriusan rezim Gus Dur-Megawati menegakkan kebebasan pers,mengingat basis pendukung dua pemimpin ini (Banser NU dan Satgas PDIPerjuangan) kini terbukti cenderung merongrong kebebasan pers melaluiaksi-aksi intimidasi terhadap pers.Ancaman terhadap kebebasan pers yang semula datang dari pemerintah melaluiberbagai aturan represif, beralih wujud melalui tekanan massa serta ancamaninternal: tumbuhnya penerbitan pers yang sensational dan tidak mengindahkanetika.

Negara Koloni: Represi Silih BergantiAwal mula tradisi represi terhadap Pers Indonesia adalah warisanpemerintahankolonial. Peraturan pertama mengenai pers di jaman Negara Hindia Belandadituangkan pada 1856, dalam Reglement op de Drukwerken inNederlandsch-Indie, yang bersifat pengawasan preventif.

Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntutsetiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Duapuluh lima tahun kemudian, pada 1931, pemerintah kolonial melahirkanPersbreidel Ordonnantie. Aturan ini memberikan hak kepada Gubernur Jenderaluntuk melarang penerbitan yang dinilai bisa “mengganggu ketertiban umum”[3]Selain itu pemerintah kolonial Belanda juga memiliki pasal-pasal terkenal,Haatzaai Artikelen, yang mengancam hukuman terhadap siapapun yangmenyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadappemerintah Nederland atau Hindia Belanda—berlaku sejak 1918.

Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Maduraditerapkan Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensorpreventif. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarangpenerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagidengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap suratkabar. Tugas “penasehat” ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor,bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggotaredaksi.

Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetapdipeliharaoleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan.Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie[5], terusdipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembanganpolitik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku PenguasaMiliter, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan inimenegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan sertamemiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandungkecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itujuga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataanpermusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai

Artikel ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers.Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), , Penguasa Militer DaerahJakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958.Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbitbagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963[6].Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh PelaksanaKhusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah(Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC,serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akandiberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.

Era Orde Baru: Bredel Enggan Berlalu

Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada eraSoeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—ordeyang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lainmajalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yangdianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendidicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian,1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkanrahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belumdibicarakan di parlemen

Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers[8]dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah“menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional,dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi,kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusakkepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untukbergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluanguntuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” PencabutanSIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yangdikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya

Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitandengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagaipresiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan,Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukanpenerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon,[9] dan diijinkanterbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maafkepada pemimpin nasional (Soeharto).

Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an memintakorban antara lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu,ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng.Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibatmenyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yangmerupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo(Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus MilyaderIndonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadapketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”.Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial MencariGolongan Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajinerdengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertamadinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentangkelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dantidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984,majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkantulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial. Berikutnya, pada 9Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit.[11] Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalahSenang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor dan Detik

Pers Pancasila: Produk Asli IndonesiaPada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskansistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gayaIndonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert,Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers).Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikansebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskanpertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi:Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasisikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. PersPembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasilaadalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalammenjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif,penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melaluihakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percayamenuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab

Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat danideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alatpemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar danobyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisaterwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-matamenjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsikontrolnya

Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan takbebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secarasinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisadilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegahmedia menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itupada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer danpemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan“informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidakboleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola mediamenggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran danpembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukanswa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itubisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabattinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama(headline) oleh pers.

Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan, pers Indonesia yang terpasung saatitu juga berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan rezim yangmenindasnya. Sejumlah kiat pers agar tetap survive, ternyata secara tidaklangsung ikut memperkuat cengkeraman rezim Soeharto. Pers dan wartawanIndonesia yang terbelenggu berperan besar dalam menginternalisasikanslogan-slogan rezim tanpa mencoba menelaah secara kritis (Slogan-sloganseperti: bahaya laten komunis, stabilitas demi pembangunan, ABRI/militersebagai dinamisator, termasuk slogan Pers Pancasila dan Pers Pembangunanadalah contoh slogan-slogan rezim yang disebarkan oleh pers dan harusditelan oleh masyarakat sebagai kebenaran).

Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut--terhadapkebebasan--pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh,sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejakpertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan erapers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikankeuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik.Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepeduliansosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjaditujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukungpertumbuhan ekonomi yang tinggi--adalah perolehan keuntungan, bukan kualitasberita

Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi daribisnis pers menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasirepresif, sulit bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuanjurnalistiknya. Apalagi dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat IzinUsaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagipers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiapwaktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers.

Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteriauntuk mendapat SIUPP tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yangdekat dengan kekuasaan saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehinggamuncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikanpers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada akhir1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertasperizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melaluisistem lisensi ini lah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukansaja media massa harus mendapat ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuanpublik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat ijin

Ruang publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara danmodal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar danberdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campurtangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah saturuang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia,ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktekjurnalisme di Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat,jenderal dan tokoh bisnis. Selain karena demi keamanan kelanjutanpenerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan bahwa ucapan pejabatpemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita.

Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudahdilakukan oleh para wartawan—juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karenameminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita.Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi(dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktekjurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas)kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segalainformasi” untuk membantu kerja wartawan.Dengan maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulitmemperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitianyang diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harianberpengaruh di Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnyaketergantungan dua media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintahatau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % beritabersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkutorientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita diKompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah.

Menentang Tirani: Mencari AlternatifPada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers danarus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadahtunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensorterhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil menghambat arusinformasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.

Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak RepublikIndonesia berdiri, cuma mengenal satu organisasi wartawan, PersatuanWartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali terperangkap dalamkorporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagaioperator untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawanIndonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkanhak, melindungi dan meningkatkan profesinya

Sebaliknya, wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis olehPWI.Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadappers melalui tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran danpembredelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orangpers sendiri, melalui Dewan Pers serta PWI. Pengurus dua organisasi inidengan sadar memfungsikan diri sebagai operator pemerintah dalam menekanpers

Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelantiga media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbedadari berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupantiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan masyarakat.Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis NGO melakukandemonstrasi pada hari-hari setelah pembredelan.

Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagaisatu-satunya organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelanitu, sebaliknya malah “bisa memahami” sikap yang diambil rezim Soeharto.Bukan rahasia lagi, PWI merupakan kepanjangan birokrasi DepartemenPenerangan. Sehingga, bukannya membela kepentingan, hak-hak dan aspirasiwartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan. Kalangan wartawanmuda yang tidak puas atas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikanterbentuknya AJI sebagai wujud sikap “menolak wadah tunggal wartawan” dansebagai organisasi alternatif bagi wartawan.

Berdirinya AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti DepartemenPenerangan dan PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWImemecat 13 anggotanya yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan perstidak mempekerjakan wartawan AJI. Belasan wartawan AJI disingkirkan darikerja kewartawanan atau diminta mengundurkan diri.[15] Pemimpin redaksi yangdianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa dicabutrekomendasinya dan hilang haknya sebagai pemimpin redaksi. “Pokoknya orangAJI tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh kerja di perusahaan pers sebagaitukang sapu,” demikian ancam seorang pengurus PWI ketika mengintimidasipemimpin redaksi D&R yang diketahui mempekerjakan orang AJI

Kelahiran AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionyadimulai ketika wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forumdiskusi wartawan. Mereka adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, ForumDiskusi Wartawan Yogyakarta, Pers Club di Surabaya, dan Solidaritas JurnalisIndependen di Jakarta. Forum-forum wartawan yang berdiri awal 1990 an inibersifat cair dan informal, karena untuk mendirikan organisasi formalwartawan di luar PWI, saat itu, hampir mustahil. Forum-forum diskusiwartawan semacam itu menjadi oase bagi kesumpekan wartawan yang menyadarimereka tak memiliki organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka

Kecenderungan Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasibagi setiap sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan.Berdirinya organisasi alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah jugaterjadi sektor lain. Di kalangan buruh, pada 1992, berdiri Serikat BuruhSejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan terhadap Serikat PekerjaSeluruh Indonesia (SPSI) milik pemerintah. Untuk menandingi Dharma Wanita,telah muncul sejumlah kelompok NGO perempuan. Di kalangan mahasiswa,dibentuk berbagai “komite”atau “kelompok solidaritas” untuk menandingiorganisasi kemahasiswaan yang diakui pemerintah

Berbagai kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencobatampil di lingkup politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemenyang telah bungkam lembaga eksekutif. AJI membangun jaringan di kalanganwartawan muda di berbagai daerah, juga melakukan training dan pelatihankepada aktivis pers mahasiswa, serta mengorganisir aksi.Selain menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan mediaalternatif tanpa SIUPP, Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan.Selain Independen terdapat media yang aktif menyebarkan informasi alternatifseperti yang diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari Pijar, media-mediakampus serta bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu menjadialternatif bagi pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream.Semula Independen diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, denganberita mengenai seputar pers. Pada perkembangannya Independen jugamenyediakan ruang untuk berita-berita umum, khususnya untuk fakta-faktayang tidak bisa disiarkan oleh pers mainstream. Independen menampungberita-berita hasil reportase wartawan AJI, yang tidak mungkin dicetak olehpers mainstream.

Salah satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksiadalah edisi nomor 10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995.Dalam edisi itu, Independen mengungkap kepemilikan saham-saham MenteriPenerangan (saat itu) Harmoko dan keluarganya di beberapa media massa. Bagikalangan pers, kabar Menteri Penerangan Harmoko memiliki saham di berbagaiperusahaan pers, sudah banyak diperbincangkan, meskipun bisik-bisik.Independen menuliskannya dalam laporan utama.Laporan itu mengungkapkan, Menteri Penerangan atau keluarganya memilikisebagian saham di 32 media massa, termasuk di sejumlah media terkemuka.Sebagian dari saham di media itu memang tidak langsung atas nama Harmoko. Disebuah mingguan ekonomi umpamanya, 28% sahamnya atas nama salah seorangadik Harmoko. Bahkan di harian berbahasa Inggris terkemuka, The JakartaPost, 5% sahamnya atas nama istri Harmoko. Tentu saja, pemilikan saham itusah-sah saja, sejauh saham itu diperoleh dengan membeli. Tapi, umumdiketahui, saham-saham itu diperoleh keluarga Harmoko dengan gratis. Bahkanpemilikan sebagian saham itu digunakan sebagai syarat untuk memperlancarkeluarnya SIUPP baru

Ketika wartawan Independen mengkonfirmasi ke Menteri Penerangan Harmoko,dia menolak menjawab, dan kemudian mengusir wartawan Independen yangdisebutnya sebagai “penerbitan liar”. Sebulan kemudian, pada 28 Maret 1995,pemerintah resmi melarang Independen. Pada edisi Maret 1995 itu, Independenmengungkap tentang “Soeharto Sakit, Elit Politik Bertarung.” Majalah bulanansetebal 32 halaman, yang pernah mendapat penghargaan dari international,itu dilarang karena dianggap telah menyebarkan kebencian, mengadu domba,menyebabkan keresahan dan menyebarkan permusuhan di kalangan masyarakat

Hantaman Krisis: Pers Menggeliat Pers Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelanTempo, Detik dan Editor. Khususnya periode setelah terjadi huru-haraPeristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997.Pers mainstream cuma berharap agar tetap selamat di hadapan kekuasaan yanggampang marah, akibat konfigurasi politik yang bergeser, sambil mengaiskeuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.Pers mainstream yang “mati suri” selama tiga tahun (1994-1997), mulaimenggeliat bangun pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melandaIndonesia pada akhir 1997 mempengaruhi kinerja pers. Banyak pers yangterancam bangkrut akibat nilai rupiah yang terjun bebas, mengakibatkanongkos produksi harga kertas dan tinta mengangkasa. Manajemen penerbitanpers menerapkan penghematan total: jumlah halaman koran dikurangi, gajiwartawan dipangkas sampai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagiwartawan

Dalam kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakinditekan. Ramainya aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yangkemudian menjadi berita di berbagai media, memicu tuduhan pemerintah bahwaPers Indonesia tidak proporsional dalam memberikan gambaran sesungguhnyatentang situasi akhir-akhir ini.[17] Intimidasi terhadap pers pada awal 1998langsung disuarakan oleh Presiden Soeharto.Bulan Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebabkepanikan masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborongbahan kebutuhan pokok (panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganannota kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduhpers Indonesia telah memanas-manasi situasi berkaitan dengan krisis moneteryang sedang terjadi dan menyebabkan rupiah semakin turun. Pernyataan ituditegaskan lagi dalam sambutan pidato pertanggungjawaban presiden di depanSidang Umum MPR, Maret 1998. Berbagai tekanan kepada pers itu tidak berujungpada pembredelan, mengingat pemerintahan Soeharto mulai goyahlegitimasinya

Namun rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengankasus sampul Soeharto sebagai “Raja Sekop” di majalah D&R, awal Maret 1998.Menteri Penerangan Hartono[19] bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karenamelakukan penghinaan terhadap kepala negara, melecehkan konstitusi danmenurunkan martabat bangsa. Namun sebelum pengadilan berlangsung, D&R sudahterlebih dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin redaksi D&R selama duatahun. Kasus D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada penyelesaiannya..Berkah Internet: Pertarungan di Alam MayaSejak 1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi dikalangan aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesiadijangkitkan oleh kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh JohnMcDougall dari Amerika. Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dariyang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparatintel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan,Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri,yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia

Sukses Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet danmailing-list yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawaneks-Tempo mengelola Tempo Interaktif, diikuti sejumlah mailing list sepertiSiaR, KDPnet, AJInews, X-pos, Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasiyang disebarkan melalui internet mampu memuaskan masyarakat yang hausinformasi, materi dari internet seringkali di down-load dan difotokopisehingga bisa dibaca oleh mereka yang tidak memiliki akses ke internet.Selain itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-blackout halaman koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidakbisa diterapkan di internet

Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut kekayaanSoeharto dan praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentangdemokrasi, hak asasi manusia serta menebarkan gagasan oposisi. Selain itumelalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling berbagi informasi sertamelakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi unjuk rasa.Setelah rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profitsemakin tumbuh menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com,berpolitik.com, astaga.com. disamping itu sebagian besar media mainstream,seperti Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Forum, dll., juga memiliki version-line

Pasca Soeharto: Pers Bebas tanpa Etika?
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomidan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannyamengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet.Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhirmenjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers,dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”.Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dantuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciutnyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis ituberarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Peneranganyang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) danmencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan

Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadisangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengandisahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkandengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahunkekuasaannya.Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikanorganisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagaiorganisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnyaberbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia(IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yangjumlahnya mencapai 40[20]. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawandan penerbitan baru

Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakanmasyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnyapernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lamaterkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untukmengaktualisasikan diri.Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkanmedia. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. DiUjung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers,kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers. Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-namayang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak,Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto:trial by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satuatau dua bulan, dan berhenti terbit

Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinyamedia partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” denganpartai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai AmanatNasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB),Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milikPartai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar.Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yangmurni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali initerbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok JawaPos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di eraPresiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukantanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagianbesar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contohmenunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" padawartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untukmengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bisadigagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi)

Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasimasyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikansecara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung,ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritikHabibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam NegeriSyarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jayaatas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998.Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan teleponantara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkanbeberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian

Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakartaseperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita.Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, BandaAceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkanuntuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang,Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untukdelapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21]Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.

Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflikmanajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkangmendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian SuaraPembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagainsahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang,manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelahmuncul ketidaksepahaman dalama manajerial

Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyaktabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik,termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderungpornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret kepengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra,Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnyadipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itupada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan WakilPresiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat,memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar padarumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancarakepada tiga figur tersebut.

Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai“kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaanpada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan.Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itubermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (mediawatch)[22]. Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembagayang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yangseharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi,karena kehilangan legitimasinya.[23] Untuk merespon suara kecaman terhadappers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupayamerumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasiwartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui prosesperdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatanganioleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999

Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnyareformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru gunamembentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakarkomunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudianmenjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusidan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentangPers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.

Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunyadibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaanpers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan DewanPers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokohmasyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalammenentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasiwartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus DewanPers periode 2000-2003

Pers dalam Ancaman Massa
Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpurukdalam cengkeraman kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujudmelalui ancaman publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektifmeskipun tidak langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik,sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancampers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukanancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebihkonkrit dampaknya.

Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesiauntuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan ituuntuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlahkebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi inibisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yangdiedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi.Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur ataumenindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuaitolok ukur mereka sendiri

Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis,mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkalimedia massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumorbahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lainterdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi danmembujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuanpolitisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bisadiinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjinganpublik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan darikelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, ataukelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jikapemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalanpintasnya adalah melabrak dan mengancam—yang ternyata memang terbukti sangatefektif.

Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa perstidak berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakanpendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopohmeminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah. Tidak ada pengujian secaraadil dan logis menyangkut kesalahan atau ketidaksalahan Jawa Pos terhadapberita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU.

Kisah lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harusmenghentikan penayangan opera sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah60 orang dari Front Pembela Islam (FPI) berunjukrasa ke SCTV (4 Mei).Telenovela itu dianggap secara sengaja menghina Islam, memberikan gambaranpalsu dan menyesatkan kepada penontonnya, karena salah satu tokoh dalam filmtersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam, Fatimah dikenal sebagai namaputri Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati, sementara Fatimah dalamEsmeralda merupakan antagonis yang berperangai buruk. Tawaran SCTV untukmengganti nama tokoh Fatimah ditolak FPI, vonis telah diputus: Esmeraldayang digemari banyak penonton itu tidak boleh disiarkan

Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror denganperangai kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telahmengancam, melakukan kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliputkegiatannya. Selain mengancam secara fisik maupun teror psikologi, laskaryang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif terhadap wartawanperempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap dan dianiayadi lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah SarealBogor (9 April
Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar olehLaskar Jihad karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskarini merasa tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenaiNII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf danmengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa senjatapedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telahmenyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakatKayumanis (lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa FrontPemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempatmenghentikan siaran radio tersebut selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPISprotes atas siaran dialog interaktif berjudul “Usaha Mengatasi Konflik AntarUmat Beragama” pada 24 Februari

Epilog: Pers Mengatur SendiriKebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleksketimbang era tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang diIndonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karenadianggap telah “bebas terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saatini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media partisan,sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalahmunculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurangmenghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnispers: menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku,kemudian menerbitkan media baru lainnya

Seserius apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soalketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (sepertikasus Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompoktertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerangatau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi:munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pulagagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yangbermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agarmasyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam market place of ideaside-ide baik menang terhadap gagasan buruk.Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasildisingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batastoleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh manapers boleh bebas Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan danmemunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorangmerugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melaluipengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yangbijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengahkegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siapmengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupunmenindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bisabersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskankejengkelan akan kebebasan

Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan sajaaparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belumtersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisamengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat perssaling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalamkode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi”yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrolmasyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas ataspemberitaan pers bakal akan terus terjadi

Tidak ada komentar:

Custom Search