Hari itu, Abdullah bin Mas’ud masuk ke rumah Rasulullah. Sebuah ruangan yang lebih layak disebut bilik kecil, di sisi Masjid Nabawi. Terlihat olehnya Rasulullah sedang lelap dalam tidurnya. Dalam ruangan yang sangat sederhana itu, Rasulullah tidur begitu saja. Hanya beralaskan tikar kasar. Tidak ada kasur, tidak juga tumpukan batal yang nyaman dan menenangkan.

Tak lama Rasul pun terbangun. Nampak di pipinya garis-garis tikar yang membekas jelas. Seorang Rasul mulia, manusia pilihan, tidur hanya dengan tikar kasar, yang lantas mengguratkan garis-garis di pipinya.

Melihat kondisi Rasulullah seperti itu, Abdullah bin Mas’ud sangat terharu. Hingga akhirnya, ia tak kuasa membendung air matanya. Abdullah bin Mas’ud menangis. Segera ia mendekati Rasulullah, lalu menghapus debu yang menempel di pipinya yang mulia.

Melihat Abdullah bin Mas’ud menangis, Rasulullah bertanya, "Wahai Abdullah, apa yang engkau tangisi?" Abdullah bin Mas’ud menjawab, "Ya Rasulullah, aku teringat kemewahan para kaisar Persia dan Romawi. Mereka tidur di atas hamparan sutra yang lembut." Ya, itulah jawaban Abdullah. Itulah yang menyebabkan Abdullah bin Mas’ud menangis. Rasul mulia yang membawa agama kebenaran, membawa wahyu dari langit, tidur di ruangan sempit dengan alas apa adanya. Sementara itu, para pembesar-pembesar Persia dan Romawi yang kafir dan memusuhi Islam, bisa tidur dalam segala kemewahan.

Mendengar jawaban Abdullah bin Mas’ud itu, Rasulullah pun berusaha menghibur Abdullah. Rasulullah mengatakan, "Tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia ini. Sedangkan kita memiliki akhirat? Aku dan dunia ini ibarat seseorang yang berjalan di bawah terik matahari. Kemudian ia berteduh di bawah pohon. Ketika hari sudah teduh kembali, ia pun harus pergi."

Begitulah, tangisan Abdullah adalah tangis keimanan. Tangis yang mengalir dari mata air cinta kepada Rasul. Sesuatu yang merupakan bagian penting dari keseluruhan serat-serat cinta seorang mukmin, setelah cintanya kepada Allah SWT. Itu adalah tangis kepedihan, atas ‘ketidakmengertian’ dunia akan arti dan harga sebuah kemuliaan. Bahwa semestinya, para pengikut kekafiran, yang berlomba-lomba sekuat tenaga untuk menghalangi kebenaran, yang berusaha dengan segala daya untuk memadamkan cahaya iman, atau para penyebar kebusukan dan keculasan dalam segala bentuknya, semestinya mereka tak menikmati gemerlap dunia ini. Sebaliknya, Rasul mulia yang membimbing manusia meninggalkan kegelapan menuju cahaya Islam yang terang, semestinya mendapat kesenangan dunia yang layak.

Tetapi tangisan Abdullah bukan ratapan akan kemewahan dunia yang seakan tak berpihak kepada Rasul junjungannya, atau juga kepada dirinya. Tidak. Ia tahu betul bagaimana memaknai imannya kepada Allah, juga kepada Rasul-Nya. Tetapi di sinilah kita menyaksikan, bahwa sisi-sisi kemanusiaan seorang Abdullah muncul dan mengalirkan gelombang rasa gundah yang sangat alami. Apa yang dilihatnya dengan mata kepalanya, tentang tidur Rasulullah yang sangat bersahaja, juga tentang goresan-goresan bekas tikar itu, adalah obyek penglihatan mata yang sangat kontras. Sebuah pandangan yang seketika menghentak sisi kemanusiaan Abdullah.

Pada sisi inilah sebuah pelajaran penting harus dicerna oleh setiap mukmin. Betapa akan banyak saat-saat dimana sisi kemanusiaan kita dihentak-hentakkan oleh fakta-fakta kehidupan yang terasa aneh, ganjil, dan menyesakkan. Seperti keanehan dan keganjilan yang dirasakan Abdullah itu. Di sisi lain, tangisan Abdullah, menjadi semacam perlambang, betapa tidak mudah bagi sisi-sisi manusiawi setiap orang, bahkan juga seorang mukmin, untuk menerima ganjilnya pemihakan dunia kepada orang-orang yang bejat. Tetapi sekejap gundah dan tangisnya, adalah sehampar pelajaran bagi orang-orang beriman sesudahnya. Betapa bila kita mengukur hidup ini dengan timbangan dunia, akan banyak hal-hal yang sangat menyesakkan.

Semua itu bahkan sangat akrab dalam keseharian kita. Sangat dekat dengan sekitar kita, terlebih hari-hari ini. Lihatlah bagaimana orang-orang yang benar justru diinjak dan dihinakan. Sebaliknya, para penjahat dan manusia-manusia kotor justru berkoar-koar bak manusia-manusia suci, diacungkan kepada mereka segala simbol penghormatan. Lihatlah, bagaimana keadilan sangat tidak berpihak kepada orang-orang yang punya hak. Lihatlah bagaimana orang-orang yang hidupnya sangat hitam, berlumur darah orang-orang yang tak berdosa, justru bisa ditampilkan menjadi sosok-sosok pahlawan yang bertaburan sanjungan dan puji-pujian. Rasulullah pernah menjelaskan tentang hari-hari yang sulit sepeninggalnya kelak. Yaitu hari-hari ketika orang-orang yang benar didustakan, dan orang-orang dusta dibenarkan.

Maka, gemerlap dunia membutuhkan penyikapan yang arif, tidak hanya dengan menggunakan sisi-sisi kemanusiaan semata. Dibutuhkan mata hati, dan tidak sekadar mata kepala. Dibutuhkan ketajaman iman, dan tidak semata kalkulasi duniawi.

Seperti itulah yang kemudian dijelaskan Rasulullah kepada Abdullah. Jawaban Rasulullah tidak saja menyejukkan dan menghapus kegundahan Abdullah. Jawaban itu sekaligus menjadi pakem-pakem penting tentang bagaimana ketimpangan dunia mendapatkan jawaban yang sangat tuntas dan paripurna. Jawaban Rasulullah sekali lagi adalah jawaban tentang bagaimana sesuatu yang secara lahiriyah aneh dan ganjil, bisa jadi sesungguhnya secara substansial betul-betul adil. Bagaimana sesuatu yang secara mata telanjang terlihat pahit, boleh jadi sesungguhnya itu adalah benih-benih bagi akhir yang manis dan kesudahaan yang membahagiakan. Itulah jawaban iman. Dibutuhkan mata hati yang mampu menembus dinding-dinding fisik duniawi, untuk bisa mendapatkan jawaban seperti itu.

Jawaban Rasulullah lebih jauh memberi kata kunci, agar seorang mukmin tidak silau dengan dunia. Tidak terpukau oleh gemerlap kehidupan. Karena seorang mukmin punya pengharapan yang lain. Pengharapan akan kampung akhirat. Bila dunia menghampirinya, ia tidak terperdaya, tidak pula gampang tertipu. Sebaliknya, bila dunia tidak singgah pada kehidupannya, ia pun tak lantas putus asa, apalagi berulah yang bukan-bukan.

Tentu, tidak mudah menerima dengan tabah ‘ketimpangan’ itu, lalu membalikkannya menjadi penghibur hati dan penyubur bagi cahaya iman. Karenanya, kuncinya ada pada kemampuan memandang. Seperti jawaban Rasulullah itu, yang menegaskan betapa setiap mukmin, harus memiliki kemampuan melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lain, tidak saja dari sisi lahiriyah saja. Kita harus bisa melihat apa yang sesungguhnya ada di balik segala yang nyata itu. Dunia yang mewah dan gemerlap ini memang sangat memukau. Tetapi mata iman melihatnya tak lebih dari tempat berteduh sesaat, dari panas matahari, bagi sebuah perjalanan panjang yang melelahkan.

Memandang sangat jauh sama artinya dengan menghindarkan jiwa-jiwa kita dari sikap mudah silau. Menjauhkan jiwa dari mental cepat terpukau oleh apa yang ada di depan mata ini. Sebuah aksioma menarik pernah disampaikan oleh Rasulullah, dalam khutbahnya pada musim haji. Di antara penggalan khutbahnya itu ia mengatakan, "Tidak ada kemuliaan bagi orang-orang Arab atas orang bukan Arab kecuali dengan takwa." Lalu, Rasulullah menambahkan, "Sesungguhnya seluruh manusia itu keturunan Adam, sedang Adam diciptakan dari tanah."

Inilah yang disebut dengan memandang lebih jauh. Memandang melebihi batas yang nampak oleh mata. Memandang diri manusia, melebihi batasnya sebagai manusia yang menyilaukan. Lalu menyadari, bahwa di balik itu semua ada unsur tanah, yang tidak istimewa. Bahwa hanya takwa yang membuat ‘makhluk-makhluk tanah’ itu menjadi berharga dan berbeda nilainya.

Kemampuan memandang jauh, melihat melebihi batas, dan memahami seperti itu akan memberikan kita sumber kekuatan yang tidak pernah habis. Kekuatan yang akan menjadi pengendali utama segala tindak laku kita. Sehingga kita bisa berjalan dalam koridor yang benar.

Akhirnya, di jaman yang ramai oleh peradaban lisptik dan budaya imitasi seperti saat ini, alangkah perlunya kita memiliki mata hati yang tajam, yang mampu memandang jauh, lebih jauh, dan sangat jauh. Alangkah pentingnya kita memiliki cahaya iman, yang mampu menembus batas-batas fakta duniawi. Agar waktu yang sesaat ini tak sia-sia. Agar tak ada penyesalan kelak, pada hari ketika tak ada gunanya lagi harta dan kekayaan.

Wallahu’alam.