Indosat Blog Contest (SinyalKuat.co.cc)
Custom Search

Kamis, 26 Februari 2009

isi pulsa dapet beasiswa


Press Release

ISI PULSA DAPAT BEASISWA
(khusus untuk IM3 Community Lampung)

Bandarlampung, 17 Februari 2009 – Kembali Indosat Regional Sumbagsel memberikan keuntungan bagi para pengguna setia IM3 yang tergabung dalam IM3 community. Saat ini IM3 Community di Provinsi Lampung yang berjumlah lebih dari 6.000 orang akan berkesempatan mendapatkan Beasiswa dari Indosat.

IM3 Community Lampung tersebar di seluruh SMA dan lembaga pendidikan di Provinsi Lampung. Beasiswa total senilai Rp. 24.000.000 di canangkan oleh Indosat Regional Sumbagsel dan akan diberikan hanya untuk IM3 Community Lampung, itu berarti kesempatan untuk mendapatkan beasiswa sangatlah besar. IM3 Community Lampung dapat menikmati beasiswa ini dengan cara yang sangat mudah. Mereka cukup mengisi pulsa minimal Rp. 10.000 kemudian ketik: BEASISWA nama sekolah mereka dan kirim ke 7773. Semakin banyak mereka isi pulsa maka akan semakin besar kesempatan mendapatkan beasiswa dari Indosat. “Pengiriman sms dapat dilakukan mulai 16 Februari s/d 16 Maret 2009, untuk pengguna IM3 Lampung yang sudah bergabung dengan IM3 Community buruan isi pulsa dan sms, mudah-mudahan rejeki berpihak pada kalian untuk mendapatkan beasiswa dari Indosat”, ujar Samyo Sumarmono, Head Of Indosat Lampung Branch.

“Tepat pada 17 Maret 2009 pihak Indosat akan mengundi 20 penerima beasiswa. Ke-20 IM3 Community akan dihubungi pihak Indosat Lampung melalaui nomor IM3 yang mereka gunakan, oleh karena itu nomor IM3 haruslah tetap aktif agar dapat dengan mudah dihubungi oleh pihak kami”, imbuh Samyo. Tidak hanya menerima beasiswa, tapi ke-20 IM3 Community akan di ajak Fun Outbound guna mengenal lebih dekat IM3 Community dari SMA lain.

Sementara yang belum mendaftarkan diri sebagai IM3 community pengguna IM3 Lampung dapat ketik IC nama kelas nama sekolah> dan kirim ke 7773 atau bisa langsung mendaftar ke Gallery Indosat Lampung, Jl. WR. Mongonsidi No. 47 B. Lampung, atau secara kolektif dapat mendaftar ke crew IM3 Community yang ada di sekolah mereka.

Dengan terdaftarnya sebagai IM3 Community maka para peserta sudah dapat merasakan banyak sekali keuntungan, antara lain ; kesempatan mendapatkan beasiswa, kesempatan mendapatkan pulsa gratis, gratis ganti kartu Indosat, diskon khusus di marchant lokal maupun nasional, dll. Dalam jangka waktu tertentu Indosat selalu menambah benefit/ keuntungan bagi anggota IM3 maupun Indosat community. Informasinya selalu di lakukan melalui media promosi, media massa dan secara langsung Indosat selalu mengirimkan pesan melalui SMS broadcast pada seluruh anggota Indosat community.

”Seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan Indosat, kami terus membetuk community baru dan merancang kentungan-keuntungan yang dapat dinikmati para Indosat community,” ujar Samyo Sumarmono, Head Of Indosat Lampung Branch.

Minggu, 22 Februari 2009

social behaviour


terinspirasi dari seseorang pada saat kunjungan di waikanan

social behavior
is behavior directed towards society, or taking place between, members of the same species. Behavior such as predation which involves members of different species is not social. While many social behaviors are communication (provoke a response, or change in behavior, without acting directly on the receiver) communication between members of different species is not social behavior.

In sociology, "behavior" itself means an animal-like activity devoid of social meaning or social context, in contrast to "social behavior" which has both. In a sociological hierarchy, social behavior is followed by social action, which is directed at other people and is designed to induce a response. Further along this ascending scale are social interaction and social relation. In conclusion, social behavior is a process of communicating.

sisilain kebahagiaan



Inilah sisilain kebahagiaan
terkadang kehidupan yang indah dan bahagia ini penuh dengan liku-liku.
terkadang kita enggan untuk membuka mata bahwa di sekeliling kita banyak sekali orang-orang yang jauh lebih membutuhkan dari apa yang kita peroleh hari ini.
Namun kita semua tidak pernah mau membuka mata,dan hati nurani hanya menumpuk-numpuk harta yang dalam sekejap saja bisa hilang begitu juga dengan nyawa kita, bisa melayang dan berpulang kapanpun sang khalik mau.
sejenak kita berfikir dan temukan solusinya
apa yang anda temukan?
realisasikan dengan perbuatan!

Sabtu, 14 Februari 2009

Hari Valentine (Valentine's Day)

Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine's Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Asal-muasalnya yang gelap sebagai sebuah hari raya Katolik Roma didiskusikan di artikel Santo Valentinus. Beberapa pembaca mungkin ingin membaca entri Valentinius pula. Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhir Abad Pertengahan ketika konsep-konsep macam ini diciptakan.
Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.
Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.
Sebuah kencan pada hari Valentine seringkali dianggap bahwa pasangan yang sedang kencan terlibat dalam sebuah relasi serius. Sebenarnya valentine itu Merupakan hari Percintaan, bukan hanya kepada Pacar ataupun kekasih, Valentine merupakan hari terbesar dalam soal Percintaan dan bukan berarti selain valentine tidak merasakan cinta.

Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik "Happy Valentine's", yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka, ataupun, teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya. (bahasa Inggris: Valentine's Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Asal-muasalnya yang gelap sebagai sebuah hari raya Katolik Roma didiskusikan di artikel Santo Valentinus. Beberapa pembaca mungkin ingin membaca entri Valentinius pula. Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhir Abad Pertengahan ketika konsep-konsep macam ini diciptakan.
Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.
Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.
Sebuah kencan pada hari Valentine seringkali dianggap bahwa pasangan yang sedang kencan terlibat dalam sebuah relasi serius. Sebenarnya valentine itu Merupakan hari Percintaan, bukan hanya kepada Pacar ataupun kekasih, Valentine merupakan hari terbesar dalam soal Percintaan dan bukan berarti selain valentine tidak merasakan cinta.
Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik "Happy Valentine's", yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka, ataupun, teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya.


Perayaan Kesuburan bulan Februari
Asosiasi pertengahan bulan Februari dengan cinta dan kesuburan sudah ada sejak dahulukala. Menurut tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.
Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada sang dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan lari-lari di jejalanan kota Roma sembari membawa potongan-potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Terutama wanita-wanita muda akan maju secara sukarela karena percaya bahwa dengan itu mereka akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah.


Hari Raya Gereja
Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), nama Valentinus paling tidak bisa merujuk tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda:
seorang pastur di Roma
seorang uskup Interamna (modern Terni)
seorang martir di provinsi Romawi Africa.
Koneksi antara ketiga martir ini dengan hari raya cinta romantis tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus dia Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gerejaWhitefriarStreetCarmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak-arak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.
Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santa yang asal-muasalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

Valentinius
Guru ilmu gnostisisme yang berpengaruh Valentinius, adalah seorang calon uskup Roma pada tahun 143. Dalam ajarannya, tempat tidur pelaminan memiliki tempat yang utama dalam versi Cinta Kasih Kristianinya. Penekanannya ini jauh berbeda dengan konsep... dalam agama Kristen yang umum. Stephan A. Hoeller, seorang pakar, menyatakan pendapatnya tentang Valentinius mengenai hal ini: "Selain sakramen permandian, penguatan, ekaristi, imamat dan perminyakan, aliran gnosis Valentinius juga secara prominen menekankan dua sakramen agung dan misterius yang dipanggil "penebusan dosa" (apolytrosis) dan "tempat pelaminan"...


Era abad pertengahan
Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 February adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan Inggris Pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (“Percakapan Burung-Burung”) bahwa
For this was sent on Seynt Valentyne's day (“Bahwa inilah dikirim pada hari Santo Valentinus”)
When every foul cometh there to choose his mate (“Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya”)
Pada jaman itu bagi para pencinta sudah lazim untuk bertukaran catatan pada hari ini dan memanggil pasanagan mereka "Valentine" mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi pernaskahan British Library di London. Kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai santo Valentinus diciptakan pada jaman ini. Beberapa di antaranya bercerita bahwa:
Sore hari sebelum santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati syuhada), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis "Dari Valentinusmu".
Ketika serdadu Romawi dilarang menikah oleh Kaisar Claudius II, santo Valentinus secara rahasia membantu menikahkan mereka.
Pada kebanyakan versi legenda-legenda ini, 14 Februari dihubungkan dengan keguguran sebagai martir.


Hari Valentine pada era modern
Hari Valentine kemungkinan diimpor oleh Amerika Utara dari Britania Raya, negara yang mengkolonisasi daerah tersebut. Di Amerika Serikat kartu Valentine pertama yang diproduksi secara massal dicetak setelah tahun 1847 oleh Esther A. Howland (1828 – 1904) dari Worcester, Massachusetts. Ayahnya memiliki sebuah toko buku dan toko peralatan kantor yang besar dan ia mendapat ilham untuk memproduksi kartu dari sebuah kartu Valentine Inggris yang ia terima. (Semenjak tahun 2001, The Greeting Card Association setiap tahun mengeluarkan penghargaan "Esther Howland Award for a Greeting Card Visionary".)

Tradisi Hari Valentine di negara-negara non-Barat

Di Jepang, Hari Valentine sudah muncul berkat marketing besar-besaran, sebagai hari di mana para wanita memberi para pria yang mereka senangi permen cokelat. Namun hal ini tidaklah dilakukan secara sukarela melainkan menjadi sebuah kewajiban, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi cokelat kepada para teman kerja pria mereka, kadangkala dengan biaya besar. Cokelat ini disebut sebagai Giri-choko, dari kata giri (kewajiban) dan choco (cokelat). Lalu berkat usaha marketing lebih lanjut, sebuah hari balasan, disebut “Hari Putih”(White Day) muncul. Pada hari ini (14 Maret), pria yang sudah mendapat cokelat pada hari Valentine diharapkan memberi sesuatu kembali.
Di Taiwan, sebagai tambahan dari Hari Valentine dan Hari Putih, masih ada satu hari raya lainnya yang mirip dengan kedua hari raya ini ditilik dari fungsinya. Namanya adalah "Hari Raya Anak Perempuan" (Qi Xi). Hari ini diadakan pada hari ke-7, bulan ke-7 menurut tarikh kalender kamariyah Tionghoa.
Di Indonesia, budaya bertukaran surat ucapan antar kekasih juga mulai muncul. Budaya ini cenderung menjadi budaya populer dan konsumtif karena perayaan valentine lebih banyak ditujukan sebagai ajakan pembelian barang-barang yang terkait dengan valentine seperti kotak coklat, perhiasan dan boneka. Pertokoan dan media (stasiun TV, radio, dan majalah remaja) terutama di kota-kota besar di Indonesia marak mengadakan acara-acara yang berkaitan dengan valentine.

Selasa, 10 Februari 2009

keteguhan hati

sejarah pers indonesia

Banyak peristiwa masih akan terjadi dan bisa dicatat, atau terlupakan, dalamperkembangan Pers Indonesia. Pergulatan menuju pers bebas--danberetika--sedang berkecamuk. Jatuhnya Soeharto, Mei 1998, segera memberiruang terbuka bagi sesak nafas yang diderita Pers Indonesia hampir selamatiga dasawarsa. Sesaat kemudian, serbuan demam kebebasan mewabah.Suara-suara cemas terhadap anarkhi--dipicu oleh pers yang takterkontrol--demikian kata sejumlah kalangan—ramai disuarakan. Tuntutandikembalikannya “era normal” muncul dari sejumlah wakil rakyat, pejabatpemerintah dan segolongan masyarakat: Pers Indonesia sudah kebablasan[1],kontrol dan tindakan tegas harus kembali diterapkan.

Namun, yang tersisa dari jatuhnya kekuasaan tiran adalah kevakuman otoritas.Gagasan mengontrol kebebasan (pers) yang baru didapat, tidak mendapattempat. Justru Departemen Penerangan[2], lembaga kontrol yang dua dasawarsalebih menjadi hantu pencabut nyawa bagi pers, dibredel oleh PresidenAbdurrahman Wahid, pada Oktober 1999. Presiden Wahid yang baru terpilih itumenegaskan, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusanpemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrolnegara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Masyarakat, tentunya. Itusebabnya dua tahun terakhir ini (kelompok tertentu) masyarakat aktif“mengontrol” pers, dengan menduduki kantor redaksi, mengintimidasi wartawandan memaksakan agar versi mereka dimuat di pers. Babak baru perkembanganpers Indonesia sedang berlangsung, belum ketahuan ke mana arahnya

Yang sudah diketahui, catatan sejarah pers di Indonesia tidak lain adalahrekaman tekanan, intimidasi dan pemberangusan. Pers Indonesia terperangkapdalam ranjau-ranjau peraturan dan sensor yang dipasang pemerintah.Pengalaman di Indonesia, kebebasan itu seakan-akan merupakan berkah atauhadiah dari penguasa baru—yang muncul menggantikan penguasa otoritersebelumnya. Periode kebebasan pers pernah dinikmati media di Indonesia padatahun 1945-1949, ketika merdeka dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang;kemudian tahun 1966-1972, setelah tumbangnya Soekarno, dan paska tumbangnya Soeharto.

Jatuhnya Soeharto ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri berbagaipersoalan. Periode transisi, di era Presiden Habibie berlanjut ke PresidenAbdurrahman Wahid, suasana keterbukaan justru memunculkan berbagai persoalanbaru yang lebih kompleks, tidak sekadar hitam-putih.Rezim Habibie, tidak punya pilihan lain, selain harus melakukan liberalisasidan itu pun bukan tanpa ancaman. Era Abdurrahman Wahid memperlihatkankesungguhan untuk mengadopsi kebebasan pers, namun masih harus ditunggusejauh mana keseriusan rezim Gus Dur-Megawati menegakkan kebebasan pers,mengingat basis pendukung dua pemimpin ini (Banser NU dan Satgas PDIPerjuangan) kini terbukti cenderung merongrong kebebasan pers melaluiaksi-aksi intimidasi terhadap pers.Ancaman terhadap kebebasan pers yang semula datang dari pemerintah melaluiberbagai aturan represif, beralih wujud melalui tekanan massa serta ancamaninternal: tumbuhnya penerbitan pers yang sensational dan tidak mengindahkanetika.

Negara Koloni: Represi Silih BergantiAwal mula tradisi represi terhadap Pers Indonesia adalah warisanpemerintahankolonial. Peraturan pertama mengenai pers di jaman Negara Hindia Belandadituangkan pada 1856, dalam Reglement op de Drukwerken inNederlandsch-Indie, yang bersifat pengawasan preventif.

Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntutsetiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Duapuluh lima tahun kemudian, pada 1931, pemerintah kolonial melahirkanPersbreidel Ordonnantie. Aturan ini memberikan hak kepada Gubernur Jenderaluntuk melarang penerbitan yang dinilai bisa “mengganggu ketertiban umum”[3]Selain itu pemerintah kolonial Belanda juga memiliki pasal-pasal terkenal,Haatzaai Artikelen, yang mengancam hukuman terhadap siapapun yangmenyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadappemerintah Nederland atau Hindia Belanda—berlaku sejak 1918.

Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Maduraditerapkan Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensorpreventif. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarangpenerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagidengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap suratkabar. Tugas “penasehat” ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor,bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggotaredaksi.

Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetapdipeliharaoleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan.Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie[5], terusdipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembanganpolitik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku PenguasaMiliter, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan inimenegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan sertamemiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandungkecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itujuga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataanpermusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai

Artikel ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers.Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), , Penguasa Militer DaerahJakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958.Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbitbagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963[6].Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh PelaksanaKhusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah(Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC,serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akandiberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.

Era Orde Baru: Bredel Enggan Berlalu

Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada eraSoeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—ordeyang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lainmajalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yangdianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendidicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian,1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkanrahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belumdibicarakan di parlemen

Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers[8]dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah“menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional,dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi,kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusakkepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untukbergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluanguntuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” PencabutanSIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yangdikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya

Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitandengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagaipresiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan,Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukanpenerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon,[9] dan diijinkanterbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maafkepada pemimpin nasional (Soeharto).

Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an memintakorban antara lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu,ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng.Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibatmenyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yangmerupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo(Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus MilyaderIndonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadapketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”.Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial MencariGolongan Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajinerdengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertamadinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentangkelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dantidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984,majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkantulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial. Berikutnya, pada 9Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit.[11] Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalahSenang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor dan Detik

Pers Pancasila: Produk Asli IndonesiaPada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskansistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gayaIndonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert,Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers).Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikansebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskanpertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi:Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasisikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. PersPembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasilaadalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalammenjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif,penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melaluihakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percayamenuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab

Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat danideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alatpemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar danobyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisaterwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-matamenjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsikontrolnya

Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan takbebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secarasinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisadilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegahmedia menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itupada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer danpemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan“informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidakboleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola mediamenggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran danpembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukanswa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itubisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabattinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama(headline) oleh pers.

Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan, pers Indonesia yang terpasung saatitu juga berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan rezim yangmenindasnya. Sejumlah kiat pers agar tetap survive, ternyata secara tidaklangsung ikut memperkuat cengkeraman rezim Soeharto. Pers dan wartawanIndonesia yang terbelenggu berperan besar dalam menginternalisasikanslogan-slogan rezim tanpa mencoba menelaah secara kritis (Slogan-sloganseperti: bahaya laten komunis, stabilitas demi pembangunan, ABRI/militersebagai dinamisator, termasuk slogan Pers Pancasila dan Pers Pembangunanadalah contoh slogan-slogan rezim yang disebarkan oleh pers dan harusditelan oleh masyarakat sebagai kebenaran).

Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut--terhadapkebebasan--pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh,sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejakpertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan erapers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikankeuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik.Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepeduliansosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjaditujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukungpertumbuhan ekonomi yang tinggi--adalah perolehan keuntungan, bukan kualitasberita

Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi daribisnis pers menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasirepresif, sulit bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuanjurnalistiknya. Apalagi dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat IzinUsaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagipers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiapwaktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers.

Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteriauntuk mendapat SIUPP tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yangdekat dengan kekuasaan saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehinggamuncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikanpers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada akhir1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertasperizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melaluisistem lisensi ini lah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukansaja media massa harus mendapat ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuanpublik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat ijin

Ruang publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara danmodal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar danberdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campurtangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah saturuang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia,ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktekjurnalisme di Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat,jenderal dan tokoh bisnis. Selain karena demi keamanan kelanjutanpenerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan bahwa ucapan pejabatpemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita.

Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudahdilakukan oleh para wartawan—juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karenameminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita.Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi(dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktekjurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas)kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segalainformasi” untuk membantu kerja wartawan.Dengan maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulitmemperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitianyang diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harianberpengaruh di Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnyaketergantungan dua media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintahatau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % beritabersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkutorientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita diKompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah.

Menentang Tirani: Mencari AlternatifPada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers danarus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadahtunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensorterhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil menghambat arusinformasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.

Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak RepublikIndonesia berdiri, cuma mengenal satu organisasi wartawan, PersatuanWartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali terperangkap dalamkorporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagaioperator untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawanIndonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkanhak, melindungi dan meningkatkan profesinya

Sebaliknya, wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis olehPWI.Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadappers melalui tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran danpembredelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orangpers sendiri, melalui Dewan Pers serta PWI. Pengurus dua organisasi inidengan sadar memfungsikan diri sebagai operator pemerintah dalam menekanpers

Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelantiga media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbedadari berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupantiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan masyarakat.Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis NGO melakukandemonstrasi pada hari-hari setelah pembredelan.

Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagaisatu-satunya organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelanitu, sebaliknya malah “bisa memahami” sikap yang diambil rezim Soeharto.Bukan rahasia lagi, PWI merupakan kepanjangan birokrasi DepartemenPenerangan. Sehingga, bukannya membela kepentingan, hak-hak dan aspirasiwartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan. Kalangan wartawanmuda yang tidak puas atas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikanterbentuknya AJI sebagai wujud sikap “menolak wadah tunggal wartawan” dansebagai organisasi alternatif bagi wartawan.

Berdirinya AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti DepartemenPenerangan dan PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWImemecat 13 anggotanya yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan perstidak mempekerjakan wartawan AJI. Belasan wartawan AJI disingkirkan darikerja kewartawanan atau diminta mengundurkan diri.[15] Pemimpin redaksi yangdianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa dicabutrekomendasinya dan hilang haknya sebagai pemimpin redaksi. “Pokoknya orangAJI tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh kerja di perusahaan pers sebagaitukang sapu,” demikian ancam seorang pengurus PWI ketika mengintimidasipemimpin redaksi D&R yang diketahui mempekerjakan orang AJI

Kelahiran AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionyadimulai ketika wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forumdiskusi wartawan. Mereka adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, ForumDiskusi Wartawan Yogyakarta, Pers Club di Surabaya, dan Solidaritas JurnalisIndependen di Jakarta. Forum-forum wartawan yang berdiri awal 1990 an inibersifat cair dan informal, karena untuk mendirikan organisasi formalwartawan di luar PWI, saat itu, hampir mustahil. Forum-forum diskusiwartawan semacam itu menjadi oase bagi kesumpekan wartawan yang menyadarimereka tak memiliki organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka

Kecenderungan Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasibagi setiap sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan.Berdirinya organisasi alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah jugaterjadi sektor lain. Di kalangan buruh, pada 1992, berdiri Serikat BuruhSejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan terhadap Serikat PekerjaSeluruh Indonesia (SPSI) milik pemerintah. Untuk menandingi Dharma Wanita,telah muncul sejumlah kelompok NGO perempuan. Di kalangan mahasiswa,dibentuk berbagai “komite”atau “kelompok solidaritas” untuk menandingiorganisasi kemahasiswaan yang diakui pemerintah

Berbagai kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencobatampil di lingkup politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemenyang telah bungkam lembaga eksekutif. AJI membangun jaringan di kalanganwartawan muda di berbagai daerah, juga melakukan training dan pelatihankepada aktivis pers mahasiswa, serta mengorganisir aksi.Selain menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan mediaalternatif tanpa SIUPP, Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan.Selain Independen terdapat media yang aktif menyebarkan informasi alternatifseperti yang diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari Pijar, media-mediakampus serta bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu menjadialternatif bagi pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream.Semula Independen diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, denganberita mengenai seputar pers. Pada perkembangannya Independen jugamenyediakan ruang untuk berita-berita umum, khususnya untuk fakta-faktayang tidak bisa disiarkan oleh pers mainstream. Independen menampungberita-berita hasil reportase wartawan AJI, yang tidak mungkin dicetak olehpers mainstream.

Salah satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksiadalah edisi nomor 10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995.Dalam edisi itu, Independen mengungkap kepemilikan saham-saham MenteriPenerangan (saat itu) Harmoko dan keluarganya di beberapa media massa. Bagikalangan pers, kabar Menteri Penerangan Harmoko memiliki saham di berbagaiperusahaan pers, sudah banyak diperbincangkan, meskipun bisik-bisik.Independen menuliskannya dalam laporan utama.Laporan itu mengungkapkan, Menteri Penerangan atau keluarganya memilikisebagian saham di 32 media massa, termasuk di sejumlah media terkemuka.Sebagian dari saham di media itu memang tidak langsung atas nama Harmoko. Disebuah mingguan ekonomi umpamanya, 28% sahamnya atas nama salah seorangadik Harmoko. Bahkan di harian berbahasa Inggris terkemuka, The JakartaPost, 5% sahamnya atas nama istri Harmoko. Tentu saja, pemilikan saham itusah-sah saja, sejauh saham itu diperoleh dengan membeli. Tapi, umumdiketahui, saham-saham itu diperoleh keluarga Harmoko dengan gratis. Bahkanpemilikan sebagian saham itu digunakan sebagai syarat untuk memperlancarkeluarnya SIUPP baru

Ketika wartawan Independen mengkonfirmasi ke Menteri Penerangan Harmoko,dia menolak menjawab, dan kemudian mengusir wartawan Independen yangdisebutnya sebagai “penerbitan liar”. Sebulan kemudian, pada 28 Maret 1995,pemerintah resmi melarang Independen. Pada edisi Maret 1995 itu, Independenmengungkap tentang “Soeharto Sakit, Elit Politik Bertarung.” Majalah bulanansetebal 32 halaman, yang pernah mendapat penghargaan dari international,itu dilarang karena dianggap telah menyebarkan kebencian, mengadu domba,menyebabkan keresahan dan menyebarkan permusuhan di kalangan masyarakat

Hantaman Krisis: Pers Menggeliat Pers Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelanTempo, Detik dan Editor. Khususnya periode setelah terjadi huru-haraPeristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997.Pers mainstream cuma berharap agar tetap selamat di hadapan kekuasaan yanggampang marah, akibat konfigurasi politik yang bergeser, sambil mengaiskeuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.Pers mainstream yang “mati suri” selama tiga tahun (1994-1997), mulaimenggeliat bangun pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melandaIndonesia pada akhir 1997 mempengaruhi kinerja pers. Banyak pers yangterancam bangkrut akibat nilai rupiah yang terjun bebas, mengakibatkanongkos produksi harga kertas dan tinta mengangkasa. Manajemen penerbitanpers menerapkan penghematan total: jumlah halaman koran dikurangi, gajiwartawan dipangkas sampai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagiwartawan

Dalam kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakinditekan. Ramainya aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yangkemudian menjadi berita di berbagai media, memicu tuduhan pemerintah bahwaPers Indonesia tidak proporsional dalam memberikan gambaran sesungguhnyatentang situasi akhir-akhir ini.[17] Intimidasi terhadap pers pada awal 1998langsung disuarakan oleh Presiden Soeharto.Bulan Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebabkepanikan masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborongbahan kebutuhan pokok (panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganannota kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduhpers Indonesia telah memanas-manasi situasi berkaitan dengan krisis moneteryang sedang terjadi dan menyebabkan rupiah semakin turun. Pernyataan ituditegaskan lagi dalam sambutan pidato pertanggungjawaban presiden di depanSidang Umum MPR, Maret 1998. Berbagai tekanan kepada pers itu tidak berujungpada pembredelan, mengingat pemerintahan Soeharto mulai goyahlegitimasinya

Namun rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengankasus sampul Soeharto sebagai “Raja Sekop” di majalah D&R, awal Maret 1998.Menteri Penerangan Hartono[19] bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karenamelakukan penghinaan terhadap kepala negara, melecehkan konstitusi danmenurunkan martabat bangsa. Namun sebelum pengadilan berlangsung, D&R sudahterlebih dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin redaksi D&R selama duatahun. Kasus D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada penyelesaiannya..Berkah Internet: Pertarungan di Alam MayaSejak 1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi dikalangan aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesiadijangkitkan oleh kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh JohnMcDougall dari Amerika. Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dariyang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparatintel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan,Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri,yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia

Sukses Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet danmailing-list yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawaneks-Tempo mengelola Tempo Interaktif, diikuti sejumlah mailing list sepertiSiaR, KDPnet, AJInews, X-pos, Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasiyang disebarkan melalui internet mampu memuaskan masyarakat yang hausinformasi, materi dari internet seringkali di down-load dan difotokopisehingga bisa dibaca oleh mereka yang tidak memiliki akses ke internet.Selain itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-blackout halaman koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidakbisa diterapkan di internet

Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut kekayaanSoeharto dan praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentangdemokrasi, hak asasi manusia serta menebarkan gagasan oposisi. Selain itumelalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling berbagi informasi sertamelakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi unjuk rasa.Setelah rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profitsemakin tumbuh menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com,berpolitik.com, astaga.com. disamping itu sebagian besar media mainstream,seperti Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Forum, dll., juga memiliki version-line

Pasca Soeharto: Pers Bebas tanpa Etika?
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomidan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannyamengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet.Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhirmenjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers,dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”.Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dantuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciutnyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis ituberarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Peneranganyang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) danmencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan

Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadisangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengandisahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkandengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahunkekuasaannya.Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikanorganisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagaiorganisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnyaberbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia(IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yangjumlahnya mencapai 40[20]. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawandan penerbitan baru

Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakanmasyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnyapernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lamaterkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untukmengaktualisasikan diri.Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkanmedia. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. DiUjung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers,kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers. Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-namayang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak,Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto:trial by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satuatau dua bulan, dan berhenti terbit

Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinyamedia partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” denganpartai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai AmanatNasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB),Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milikPartai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar.Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yangmurni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali initerbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok JawaPos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di eraPresiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukantanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagianbesar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contohmenunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" padawartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untukmengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bisadigagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi)

Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasimasyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikansecara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung,ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritikHabibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam NegeriSyarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jayaatas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998.Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan teleponantara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkanbeberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian

Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakartaseperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita.Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, BandaAceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkanuntuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang,Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untukdelapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21]Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.

Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflikmanajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkangmendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian SuaraPembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagainsahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang,manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelahmuncul ketidaksepahaman dalama manajerial

Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyaktabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik,termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderungpornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret kepengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra,Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnyadipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itupada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan WakilPresiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat,memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar padarumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancarakepada tiga figur tersebut.

Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai“kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaanpada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan.Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itubermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (mediawatch)[22]. Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembagayang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yangseharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi,karena kehilangan legitimasinya.[23] Untuk merespon suara kecaman terhadappers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupayamerumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasiwartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui prosesperdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatanganioleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999

Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnyareformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru gunamembentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakarkomunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudianmenjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusidan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentangPers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.

Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunyadibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaanpers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan DewanPers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokohmasyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalammenentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasiwartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus DewanPers periode 2000-2003

Pers dalam Ancaman Massa
Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpurukdalam cengkeraman kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujudmelalui ancaman publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektifmeskipun tidak langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik,sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancampers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukanancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebihkonkrit dampaknya.

Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesiauntuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan ituuntuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlahkebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi inibisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yangdiedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi.Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur ataumenindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuaitolok ukur mereka sendiri

Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis,mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkalimedia massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumorbahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lainterdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi danmembujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuanpolitisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bisadiinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjinganpublik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan darikelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, ataukelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jikapemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalanpintasnya adalah melabrak dan mengancam—yang ternyata memang terbukti sangatefektif.

Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa perstidak berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakanpendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopohmeminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah. Tidak ada pengujian secaraadil dan logis menyangkut kesalahan atau ketidaksalahan Jawa Pos terhadapberita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU.

Kisah lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harusmenghentikan penayangan opera sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah60 orang dari Front Pembela Islam (FPI) berunjukrasa ke SCTV (4 Mei).Telenovela itu dianggap secara sengaja menghina Islam, memberikan gambaranpalsu dan menyesatkan kepada penontonnya, karena salah satu tokoh dalam filmtersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam, Fatimah dikenal sebagai namaputri Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati, sementara Fatimah dalamEsmeralda merupakan antagonis yang berperangai buruk. Tawaran SCTV untukmengganti nama tokoh Fatimah ditolak FPI, vonis telah diputus: Esmeraldayang digemari banyak penonton itu tidak boleh disiarkan

Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror denganperangai kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telahmengancam, melakukan kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliputkegiatannya. Selain mengancam secara fisik maupun teror psikologi, laskaryang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif terhadap wartawanperempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap dan dianiayadi lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah SarealBogor (9 April
Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar olehLaskar Jihad karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskarini merasa tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenaiNII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf danmengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa senjatapedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telahmenyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakatKayumanis (lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa FrontPemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempatmenghentikan siaran radio tersebut selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPISprotes atas siaran dialog interaktif berjudul “Usaha Mengatasi Konflik AntarUmat Beragama” pada 24 Februari

Epilog: Pers Mengatur SendiriKebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleksketimbang era tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang diIndonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karenadianggap telah “bebas terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saatini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media partisan,sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalahmunculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurangmenghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnispers: menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku,kemudian menerbitkan media baru lainnya

Seserius apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soalketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (sepertikasus Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompoktertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerangatau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi:munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pulagagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yangbermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agarmasyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam market place of ideaside-ide baik menang terhadap gagasan buruk.Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasildisingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batastoleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh manapers boleh bebas Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan danmemunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorangmerugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melaluipengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yangbijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengahkegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siapmengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupunmenindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bisabersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskankejengkelan akan kebebasan

Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan sajaaparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belumtersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisamengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat perssaling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalamkode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi”yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrolmasyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas ataspemberitaan pers bakal akan terus terjadi

Senin, 09 Februari 2009

metode ilmiah

Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan observasi serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.

Unsur metode ilmiah


Unsur utama metode ilmiah adalah pengulangan empat langkah berikut:
Karakterisasi (observasi dan pengukuran)
Hipotesis (penjelasan teoretis yang merupakan dugaan atas hasil observasi dan pengukuran)
Prediksi (deduksi logis dari hipotesis)
Eksperimen (pengujian atas semua hal di atas)

Karakterisasi

Metode ilmiah bergantung pada karakterisasi yang cermat atas subjek investigasi. Dalam proses karakterisasi, ilmuwan mengidentifikasi sifat-sifat utama yang relevan yang dimiliki oleh subjek yang diteliti. Selain itu, proses ini juga dapat melibatkan proses penentuan (definisi) dan observasi; observasi yang dimaksud seringkali memerlukan pengukuran dan/atau perhitungan yang cermat.

Proses pengukuran dapat dilakukan dalam suatu tempat yang terkontrol, seperti laboratorium, atau dilakukan terhadap objek yang tidak dapat diakses atau dimanipulasi seperti bintang atau populasi manusia. Proses pengukuran sering memerlukan peralatan ilmiah khusus seperti termometer, spektroskop, atau voltmeter, dan kemajuan suatu bidang ilmu biasanya berkaitan erat dengan penemuan peralatan semacam itu. Hasil pengukuran secara ilmiah biasanya ditabulasikan dalam tabel, digambarkan dalam bentuk grafik, atau dipetakan, dan diproses dengan perhitungan statistika seperti korelasi dan regresi.

Pengukuran dalam karya ilmiah biasanya juga disertai dengan estimasi ketidakpastian hasil pengukuran tersebut. Ketidakpastian tersebut sering diestimasikan dengan melakukan pengukuran berulang atas kuantitas yang diukur. Ketidakpastian juga dapat dihitung berdasarkan ketidakpastian masing-masing kuantitas yang digunakan. Penghitungan, misalnya atas jumlah manusia pada suatu negara pada saat tertentu, juga dapat memiliki ketidakpastian karena keterbatasan metode penghitungan yang digunakan.


Prediksi dari hipotesis

Hipotesis yang berguna akan memungkinkan prediksi berdasarkan deduksi.
Prediksi tersebut mungkin meramalkan hasil suatu eksperimen dalam laboratorium atau observasi suatu fenomena di alam. Prediksi tersebut dapat pula bersifat statistik dan hanya berupa probabilitas.

Hasil yang diramalkan oleh prediksi tersebut haruslah belum diketahui kebenarannya (apakah benar-benar akan terjadi atau tidak). Hanya dengan demikianlah maka terjadinya hasil tersebut menambah probabilitas bahwa hipotesis yang dibuat sebelumnya adalah benar. Jika hasil yang diramalkan sudah diketahui, hal itu disebut konsekuensi dan seharusnya sudah diperhitungkan saat membuat hipotesis.

Jika prediksi tersebut tidak dapat diobservasi, hipotesis yang mendasari prediksi tersebut belumlah berguna bagi metode bersangkutan dan harus menunggu metode yang mungkin akan datang. Sebagai contoh, teknologi atau teori baru boleh jadi memungkinkan eksperimen untuk dapat dilakukan.

Eksperimen

Setelah prediksi dibuat, hasilnya dapat diuji dengan eksperimen. Jika hasil eksperimen bertentangan dengan prediksi, maka hipotesis yang sedak diuji tidaklah benar atau tidak lengkap dan membutuhkan perbaikan atau bahkan perlu ditinggalkan. Jika hasil eksperimen sesuai dengan prediksi, maka hipotesis tersebut boleh jadi benar namun masih mungkin salah dan perlu diuji lebih lanjut.

Hasil eksperimen tidak pernah dapat membenarkan suatu hipotesis, melainkan meningkatkan probabilitas kebenaran hipotesis tersebut. Hasil eksperimen secara mutlak bisa menyalahkan suatu hipotesis bila hasil eksperimen tersebut bertentangan dengan prediksi dari hipotesis.
Bergantung pada prediksi yang dibuat, berupa-rupa eksperimen dapat dilakukan. Eksperimen tersebut dapat berupa eksperimen klasik di dalam laboratorium atau ekskavasi arkeologis. Eksperimen bahkan dapat berupa mengemudikan pesawat dari New York ke Paris dalam rangka menguji hipotesis aerodinamisme yang digunakan untuk membuat pesawat tersebut.

Pencatatan yang detail sangatlah penting dalam eksperimen, untuk membantu dalam pelaporan hasil eksperimen dan memberikan bukti efektivitas dan keutuhan prosedur yang dilakukan. Pencatatan juga akan membantu dalam reproduksi eksperimen.

Evaluasi dan pengulangan

Proses ilmiah merupakan suatu proses yang iteratif, yaitu berulang. Pada langkah yang manapun, seorang ilmuwan mungkin saja mengulangi langkah yang lebih awal karena pertimbangan tertentu. Ketidakberhasilan untuk membentuk hipotesis yang menarik dapat membuat ilmuwan mempertimbangkan ulang subjek yang sedang dipelajari. Ketidakberhasilan suatu hipotesis dalam menghasilkan prediksi yang menarik dan teruji dapat membuat ilmuwan mempertimbangkan kembali hipotesis tersebut atau definisi subjek penelitian. Ketidakberhasilan eksperimen dalam menghasilkan sesuatu yang menarik dapat membuat ilmuwan mempertimbangkan ulang metode eksperimen tersebut, hipotesis yang mendasarinya, atau bahkan definisi subjek penelitian itu.

Dapat pula ilmuwan lain memulai penelitian mereka sendiri dan memasuki proses tersebut pada tahap yang manapun. Mereka dapat mengadopsi karakterisasi yang telah dilakukan dan membentuk hipotesis mereka sendiri, atau mengadopsi hipotesis yang telah dibuat dan mendeduksikan prediksi mereka sendiri. Sering kali eksperimen dalam proses ilmiah tidak dilakukan oleh orang yang membuat prediksi, dan karakterisasi didasarkan pada eksperimen yang dilakukan oleh orang lain.

Kamis, 05 Februari 2009

Tiga cara bersyukur


''Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS Alnahl [16]: 18).


Bersyukur merupakan salah satu kewajiban setiap orang kepada Allah. Begitu wajibnya bersyukur, Nabi Muhammad yang jelas-jelas dijamin masuk surga, masih menyempatkan diri bersyukur kepada Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan, Nabi selalu menunaikan shalat tahajud, memohon maghfirah dan bermunajat kepada-Nya. Seusai shalat, Nabi berdoa kepada Allah hingga shalat Subuh.


Bersyukur merupakan salah satu ibadah mulia kepada Allah yang mudah dilaksanakan, tidak banyak memerlukan tenaga dan pikiran. Bersyukur atas nikmat Allah berarti berterima kasih kepada Allah karena kemurahan-Nya. Dengan kata lain, bersyukur berarti mengingat Allah yang Mahakaya, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Penyantun.


Para ulama mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah.


Pertama, bersyukur dengan hati nurani. Kata hati alias nurani selalu benar dan jujur. Untuk itu, orang yang bersyukur dengan hati nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari banyaknya nikmat Allah. Dengan detak hati yang paling dalam, kita sebenarnya mampu menyadari seluruh nikmat yang kita peroleh setiap detik hidup kita tidak lain berasal dari Allah. Hanya Allahlah yang mampu menganugerahkan nikmat-Nya.


Kedua, bersyukur dengan ucapan. Lidahlah yang biasa melafalkan kata-kata. Ungkapan yang paling baik untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah hamdalah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa mengucapkan subhana Allah, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa membaca la ilaha illa Allah, maka baginya 20 kebaikan. Dan, barangsiapa membaca alhamdu li Allah, maka baginya 30 kebaikan.''


Ketiga, bersyukur dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang positif. Menurut Imam al-Ghazali, ada tujuh anggota tubuh yang harus dimaksimalkan untuk bersyukur. Antara lain, mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, dan kaki. Seluruh anggota ini diciptakan Allah sebagai nikmat-Nya untuk kita. Lidah, misalnya, hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang baik, berzikir, dan mengungkapkan nikmat yang kita rasakan. Allah berfirman, ''Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).'' (QS Aldhuha [93]: 11).


Senin, 02 Februari 2009

Tentang Keistimewaan Bahasa Arab

Sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW, Allah SWT berbicara kepada umat manusia dengan menggunakan bahasa masing-masing. Dan Allah SWT mengutus para nabi dari keturunan masing-masing bangsa dan bahasa itu. Sebagaimana firman-Nya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ibrahim: 4)

Namun khusus untuk nabi yang terakhir, Allah SWT telah menetapkan kebijakan tersendiri. Pertama, nabi terakhir itu benar-benar nabi yang diutus untuk terakhir kalinya. Artinya, setelah itu tidak akan ada lagi nabi, meski hari kiamat masih jauh. Kedua, nabi itu hanya memiliki satu bahasa dan tentunya kitab suci yang diturunkan pun hanya satu bahasa saja. Dan bahasa yang dipilih adalah bahasa Arab.

Kemudian Allah SWT pun telah menetapkan bahwa cara manusia berkomunikasi dengan-Nya lewat ibadah shalat pun dengan menggunakan bahasa Arab. Shalat itu menjadi tidak sah ketika tidak menggunakan bahasa Arab, meski tentunya bukan berarti Allah SWT tidak mengerti bahasa lainnya. Namun sengaja Allah SWT menetapkan bahwa shalat kepada-Nya hanya boleh menggunakan bahasa Arab saja.

Tentunya ada alasan kuat mengapa bahasa Arab yang dipilih Allah SWT untuk dijadikan bahasa komunikasi antara langit dan bumi. Para pakar bahasa Arab sering kali menyebutkan di antara keistimewaan itu, antara lain:

1. Bahasa Arab adalah Induk Dari Semua Bahasa Manusia
Pendapat ini sering mengemuka ketika kita mempelajari sejarah suatu bahasa. Analisa yang sering digunakan adalah bahwa sejak manusia pertama, Nabi Adam as, menjejakkan kaki di atas bumi, beliau sudah pandai berbicara. Dan karena sebelum beliau adalah penduduk surga, di mana ada keterangan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab di dalam suatu riwayat, maka otomatis bahasa yang digunakan oleh Nabi Adam as itu adalah bahasa Arab. Dan tentunya anak-anak keturunan Nabi Adam as itu pun menggunakan bahasa Arab. Meski pun setelah itu jumlah mereka tambah banyak dan tersebar ke berbagai benua, kemudian berkembang menjadi jutaan bahasa yang saling berbeda.

2. Bahasa Arab adalah Bahasa Tertua dan Abadi
Bahasa Inggris sekarang ini boleh saja dikatakan bahwa paling populer di dunia, akan tetapi tidak ada bahasa yang bisa bertahan lama di muka bumi selain bahasa Arab. Sebab sejarah membuktikan bahwa sejak zaman Ibrahim as. di muka bumi yang diperkirakan hidup pada abad 19 sebelum masehi, mereka tercatat sudah menggunakan bahasa Arab.
Itu berarti bahasa Arab paling tidak sudah digunakan oleh umat manusia sejak 40 abad yang lalu, atau 4000 tahun.Bahkan analisa yang lebih jauh lagi menunjukkan bahwa bahasa Arab telah berusia lebih tua lagi. Karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan Allah SWT untuk berfirman di dalam Al-Quran. Sementara Al-Quran itu sudah ada di sisi Allah SWT jauh sebelum awal mula diturunkan di masa Rasulullah SAW. Dan Allah SWT menjamin bahwa Al-Quran itu tidak akan lenyap hingga hari kiamat. Artinya, bahasa Arab adalah bahasa yang sudah jauh sebelum adanya peradaban manusia dan akan terus berlangsung hingga akhir dunia ini.

3. Bahasa Arab adalah Bahasa yang Paling Banyak Diserap
Bahkan serapan dari bahasa Arab nyaris terdapat di hampir semua bahasa asing lainnya yang ada di berbagai belahan bumi ini. Nyaris bahasa-bahasa yang kita kenal sekarang ini, telah banyak menyerap kosa kata dan istilah dari bahasa Arab. Salah satunya adalah bahasa Inggris dan tentunya bahasa Indonesia. Bahkan bahasa ilmiah di dunia sains pun tidak lepas dari pengaruh serapan kata dari bahasa Arab. Istilah alkohol, aljabar, algoritme dan lainnya adalah bagian dari serapan dari bahasa arab.

4. Bahasa Arab Memiliki Jumlah Perbendaharaan Kata yang Paling BanyakSalah satu keistimewaan bahasa Arab lainnya adalah kekayaan dalam jumlah perbendaharaan kata. Mungkin karena usianya yang sudah tua namun masih digunakan hingga hari ini, sehingga penbendaharaan kata di dalam bahasa Arab menjadi sangat besar. Sebagai contoh, salah satu peneliti bahasa Arab mengemukakan bahwa orang Arab punya 80 sinonim untuk kata yang bermakna unta. Dan punya 200 sinonim untuk kata yang bermakna anjing.

Validitas Tes

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa dihadapkan pada masalah keakuratan sebuah informasi. Informasi yang diterima manusia setiap hari sangat banyak dengan sumber yang semakin beragam. Koran dan televisi adalah dua sumber informasi utama saat ini. Dengan semakin banyaknya sumber-sumber informasi yang senantiasa berkembang, maka muncul sebuah pertanyaan mendasar tentang sejauhmana informasi yang diperoleh tersebut dapat dipercaya?

Dalam penelitian-penelitian sosial, keakuratan informasi yang diperoleh sangat mempengaruhi keputusan yang akan diambil. Sayangnya, akurasi informasi dalam penelitian-penelitian sosial tersebut tidak mudah diperoleh disebabkan sulitnya mendapatkan operasionalisasi konsep mengenai variabel yang hendak diukur. Untuk mengungkap aspek-aspek yang hendak diteliti, maka diperlukan alat ukur yang baik dan berkualitas.

Alat ukur tersebut dapat berupa skala atau tes. Sebuah tes yang baik sebagaimana disampaikan oleh Syaifuddin Azwar (2006 : 2) harus memiliki beberapa kriteria antara lain valid, reliable, standar, ekonomis dan praktis. Dalam Standards for Educational and Psychological Testing validitas adalah "... the degree to which evidence and theory support the interpretation of test scores entailed by proposed uses of tests " (1999: 9). Sebuah tes dikatakan valid jika ia memang mengukur apa yang seharusnya diukur (Allen & Yen, 1979: 95).

Dalam bahasa yang hampir sama Djemari Mardapi (2004: 25) menyatakan bahwa validitas adalah ukuran seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi ukurnya. Menurut Nitko & Brookhart (2007: 38) kevalidan sebuah alat ukur tergantung pada bagaimana hasil tes tersebut diinterpretasikan dan digunakan. Dalam pandangan Samuel Messick (1989: 13) validitas merupakan penilaian menyeluruh dimana bukti empiris dan logika teori mendukung pengambilan keputusan serta tindakan berdasarkan skor tes atau model-model penilaian yang lainJika dikaitkan dengan bidang psikologi, penggunaan validitas dapat dijumpai dalam tiga konteks yaitu validitas penelitian, validitas soal dan validitas alat ukur.

Validitas penelitian merupakan derajad kesesuaian hasil penelitian dengan keadaan sebenarnya. Validitas soal berkaitan dengan kesesuaian antara suatu soal dengan soal lain. Sedangkan validitas alat ukur merujuk pada kecermatan ukurnya suatu tes (Sumadi Suryabrata, 2004: 40).Menurut Allen & Yen (1979: 95) validitas tes dapat dibagi kedalam tiga kelompok utama yaitu :
(1) validitas isi (content validity),
(2) validitas konstruk (construct validity) dan
(3) validitas kriteria (criterion related validity).

Meskipun idealnya validasi dapat dilakukan dengan memakai semua bentuk validitas tes tersebut, tetapi pengembang tes dapat memilih bentuk validasi dengan melihat tujuan pengembangan tes (Kumaidi, 1994: 58).Validitas isi menunjuk pada sejauhmana isi perangkat soal tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran menurut Djemari Mardapi (1996: 22) validitas ini adalah kesesuaian antara materi ujian dan materi yang telah dipelajari. Pengujian validitas isi tidak melalui analisis statistik melainkan analisis rasional yaitu dengan melihat apakah butir-butirnya telah sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.

Allen & Yen (1979: 95) membagi validitas isi kedalam dua kelompok yaitu face validity (validitas muka) dan logical validity (validitas logis). Validitas muka dapat dicapai jika tampilan tes tersebut telah meyakinkan untuk mengungkap atribut yang hendak diukur. Adapun validitas logis menunjukkan sejauhmana isi tes mengungkapkan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur.Validitas konstruk merujuk pada sejauhmana suatu tes mengukur suatu konstruk teoretik atau trait yang hendak diukurnya (Allen & Yen, 1979: 108) konstruk dalam pengertian ini adalah berkaitan dengan aspek-aspek psikologi seseorang khususnya aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menguji validitas konstruk. Misalnya dengan melakukan pencocokan antara aspek-aspek berpikir yang terkandung dalam tes hasil belajar dengan aspek-aspek berpikir yang hendak diungkap oleh tujuan instruksional khusus. Pengujian yang lebih sederhana tentang validitas konstruk adalah malalui pendekatan multi trait multi-method (Saifuddin Azwar 2003: 176). Pendekatan ini akan menghasilkan bukti validitas diskriminan yang ditunjukkan dengan rendahnya korelasi antar skor yang mengukur trait yang berbeda bila digunakan metode yang sama dan validitas konvergen yang ditunjukkan oleh tingginya korelasi skor-skor tes yang mengukur trait yang sama dengan menggunakan metode yang berbeda.

Contoh mengenai estimasi koefisien validitas berdasarkan metode multitrait multimethod adalah sebagaimana disampaikan Fred N. Kerlinger (1973:742) tentang matriks hubungan antara sikap sosial. Ada dua instrument berbeda yang digunakan untuk mengukur liberalisme (L) dan konservatisme (C) dalam hubungannya dengan sikap sosial seseorang yaitu dengan pernyataan sikap biasa (metode 1) dan referen (metode 2) menggunakan referensi-referensi sikap seperti sepatah kata atau frase singkat.

Korelasi antara kedua instrument tersebut disajikan dalam bentuk matriks multitrait-multimethod berikut :Dalam contoh tersebut secara teoritis dituntut adanya korelasi negative atau mendekati nol antara L dan C. korelasi antara L1 dengan C1 adalah -0,07 serta antara L2 dengan C2 adalah -0,09 yang berarti bahwa keduanya hampir selaras dengan teorinya. Korelasi silang antara L dan C yakni korelasi antara L pada metode 1 dan C pada metode 2 atau antara L1 dan C2 adalah -0,37 dan ini lebih tinggi daripada yang diprediksikan oleh teorinya (-0,30). Maka, dengan perkecualian korelasi silang yang besarnya -0,37 antara L1 dan C2 validitas konstruk dalam skala sikap itu terdukung.Validitas kriteria merupakan validitas yang disusun berdasarkan kriteria yang telah ada sebelumnya. Dalam validitas kriteria, kesahihan alat ukur dilihat dari sejauhmana hasil pengukuran tersebut sama dengan hasil pengukuran alat lain yang dijadikan kriteria.

Biasanya, dalam pengukuran psikologis, yang dijadikan kriteria, adalab hasil Pengukuran lain yang telah dianggap sebagai alat ukur yang baik misalnya tes Stanford Binnet atau tes Weschler.Validitas kriteria dibedakan menjadi dua macam yaitu berdasarkan kapan kriteria itu dapat dimanfaatkan. Jika dimanfaatkan dalam waktu dekat maka disebut validitas konkurent (concurrent validity) dan jika dimanfaatkan diwaktu yang akan datang disebut validitas prediktif (predictive validity).Untuk memperoleh validitas kriteria, diperlukan pengujian dengan menggunakan korelasi. Validitas kriteria ditunjukkan dengan angka korelasi antara skor pada alat yang dipergunakan dengan skor yang dihasilkan dari alat yang dijadikan kriteria.

Tetapi dalam ujian masuk perguruan tinggi misalnya, koefisien validitas ditunjukkan dengan skor pada saat ujian masuk dengan skor yang diperoleh pada saat seseorang telah belajar selama beberapa waktu tertentu.Menurut Sumadi Suryabrata, (2004: 46) dalam menafsirkan koefisien validitas yang didapat dari mengkorelasikan skor alat ukur dengan kriterianya sebaiknya dilakukan melalui koefisien determinasi yaitu koefisien korelasi kuadrat. Jadi jika diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,5, maka koefisien determinasinya adalah sebesar 0,25. semakin tinggi angka koefisien determinasi, maka semakin tinggi pula kecermatan prediksinya.

Analisis Butir Soal

untuk melakukan analisis terhadap sebuah butir soal ada dua pendekatan yang bisa digunakan yaitu dengan teori tes klasik dan teori respon butir. selain itu, soal juga dapat di analisis dengan menggunakan analisis kualitatif (teoritis) dan kuantitatif (empiris). Insya Allah penulis akan sedikit membahas keempat hal tersebut. akan tetapi untuk saat ini, penulis akan membahas analisis soal dengan cara kualitatif atau teoritis.

Analisis secara kualitatif dilakukan dengan melakukan penelaahan terhadap setiap butir soal dari aspek materi, konstruksi dan bahasa. Aspek materi yang ditelaah berkaitan dengan substansi keilmuan yang ditanyakan dalam butir tes serta tingkat kemampuan yang sesuai dengan tes. Analisis konstruksi dimaksudkan untuk melihat hal-hal yang berkaitan dengan kaidah penulisan tes. Analisis bahasa dimaksudkan untuk menelaah tes berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Telaah secara kualitatif dilakukan oleh tiga orang yang memiliki kompetensi sesuai dengan aspek materi konstruksi dan bahasa. Setiap penelaah melakukan analisis terhadap setiap butir soal berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dengan menuliskan huruf “Y” jika butir sesuai dengan kriteria dan huruf “T” jika butir tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Hasil telaah kemudian dirangkum untuk selanjutnya ditentukan kualitas butir secara teoretis dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:

a. Butir tes yang baik yaitu butir yang memenuhi semua kriteria yang telah ditentukan.

b. Butir tes yang kurang baik yaitu butir yang hanya memenuhi sebanyak-banyaknya 3 kriteria aspek konstruksi serta 1 kriteria aspek materi dan bahasa.

c. Butir tes yang tidak baik yaitu butir yang tidak memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan pada aspek materi 1 dan 3, atau lebih dari 3 untuk aspek konstruksi serta lebih dari 1 kriteria pada aspek bahasa.

Dari rangkuman hasil telaah kualitatif selanjutnya dapat ditentukan butir mana yang sudah atau belum memenuhi kriteria pada aspek materi, konstruksi dan bahasa. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan tentang butir yang baik dan tidak baik.Berikut contoh check list analisis kualitatif:

a. Materi
1. Tes sesuai indikator
2. Pilihan jawab homogen dan logis
3. Hanya ada satu kunci jawaban yang tepat

b. Konstruksi
4. Pokok tes dirumuskun secara singkat dan jelas
5. Rumusan pokok tes dan pilihan jawaban
7. Pokok tes tidak memberi petunjuk ke kunci jawaban
8. Pokok tes bebas dari pernyataan yang bersifat negatif ganda
9. Gambar/grafik/table diagram dan sejenisnya jelas berfungsi
10.Panjang rumusan jawaban relatif
11.Pilihan jawaban tidak menggunakan pernyataan "semua jawaban di atas salah" atau "semua jawaban di atas benar".
12.Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu disusun berdasarkan urutan besar kecilnya angka atau kronologis
13.Butir tes tidak tergantung pada jawaban sebelumnya

c. Bahasa
14.tes menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia
15.tes menggunakan bahasa yang komunikatif
16.tes tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat
17.pilihan jawaban tidak mengulang kata/kelompok kata yang sama yang bukan merupakan satu kesatuan
Custom Search