Oleh: Nazia Jalali
Alih Bahasa: Alfina Hidayah
Sejarah mengatakan bahwa sebenarnya wanita sudah cukup lama berkiprah dalam dunia perpolitikan. Sejak 350 tahun sebelum Masehi, Aristotle, dalam risalahnya yang berjudul "Politik", menyatakan wanita, begitu juga anak-anak dan budak-budak tidak termasuk sebagai warga Negara. Hal demikianlah yang telah menghalangi wanita untuk memberikan suaranya dipemerintahan bahkan untuk berperan apapun. Disusul dengan generasi selanjutnya, yang tetap mempertahankan anggapan bahwa wanita tidak mampu dibebani tugas-tugas atau pekerjaan, karena mereka memandang adanya perbedaan dalam hal keintelektualan antara wanita dan laki-laki, disamping juga karena alasan fisik dan ketidak mampuan wanita untuk menyelesaikan masalah.
Setelah melewati beberapa abad lamanya dalam penindasan dan ketidakberdayaan -yang mana dengan begitu para wanita susah memperjuangkan hak, kehormatan dan martabat mereka-. Maka mulai abad ke-20 didunia barat, nilai-nilai sejarah sovinisme laki-laki mulai terancam. Tidak dipungkiri, sebagian wanita juga memiliki hak berpolitik layaknya seorang laki-laki, bahkan pada kasus-kasus luar biasa, sebagian wanita juga dapat mengungguli rekan kerja laki-laki mereka. Pemikiran tersebut akhirnya berkelanjutan menjadi topik perdebatan di Barat, khususnya pada dunia muslim. Dan terkadang juga merupakan pukulan terberat bagi wanita itu sendiri dari berbagai kritik yang menentang mereka. Tentu saja status wanita untuk berpolitik dalam Islam juga ada bagian-bagiannya tapi mereka masih merasa seperti di Abad Pertengahan pada sejarah Eropa. Karena bagaimanapun seorang wanita muslim memiliki aturan-aturan untuk bermiliu politik. Mempunyai hak suara yang lebih sedikit bahkan terkesan kurang memberi. Sementara gagasan Barat lebih menekankan kepada penyempurnaan proses integrasi wanita kedalam politik dengan memperjuangkan demokrasi dan kemajuan wanita. Yang mana dengan demikian telah menyerang dunia Islam dengan mengatas namakan "Penindasan Wanita". Dalam reaksi tersebut, berbondong-bondong wanita muslim terinspirasi oleh gaya modernisasi rekan-rekan Barat mereka yang hiruk pikuk mengajak mereka berpartisipasi dalam politik. tapi apakah benar bahwa Islam tidak memberikan hak suara untuk wanita?
Hak dalam Memilih
Perpolitikan di Inggris tahun-tahun terakhir ini telah banyak menghargai peran para wanitanya, yang mana salah satunya telah dipelopori pada hak voting suara. Pada tahun 1867 John Stuart Mill berinisiatif untuk pertama kalinya dalam parlemen memberikan hak suara kepada wanita yang mana telah disangkal di abad-abad sebelumnya. Pada tahun 1900an tampak muncul sebuah formasi persatuan wanita dalam sosial dan politik serta hak pilih. Dan belakangan ini menjadi terkenal karena gerakan ekstrimnya, seperti dengan menggunakan unjuk rasa atau beberapa aktifitas serupa yang memungkinkan untuk menjebloskan diri mereka ke penjara. Pada 1918, wanita yang berumur diatas 30 tahun baru mendapatkan hak suara untuk memilih dan berikutnya di tahun 1928 angka usia diturunkan menjadi 21 tahun, sudah diperbolehkan memilih sama seperti batas minimal usia laki-laki.
Barat mengklaim bahwa setelah demokrasi dan dekade perjuangan, maka kini saatnya untuk mencapai kebebasan apa saja (freedom), seks bebas, persamaan gender dan penuntutan hak-hak wanita. Bagaimanapun, upaya wanita tetap akan diusahakan hingga benar-benar terwujud sebuah "persamaan" yang riil.
Tapi kenyataannya, dunia Barat masih didominasi oleh kaum adam hingga saat ini, laporan dari UNIFEM menerangkan bahwa wanita terhitung hanya 14% sebagai anggota parlemen yang meliputi seluruh dunia (2002). Ini merupakan bukti nyata bahwa dunia politik tidak bisa mencapai persamaan gender.
Lain halnya dengan dunia muslim, situasi wanita di arena politik tidak juga lebih baik. Menurut hasil laporan UNIFEM, bahwa di sebagian Negara arab tidak memberikan wanita posisi satupun di parlemen, tidak pula memberikan hak suara untuk memilih. Barat berpendapat akan kurang majunya wanita di Negara Islam merupakan hasil daripada implementasi Islam dan kurangnya demokrasi di negara tersebut.
Peran Wanita (Muslimah) Didunia Politik Islam
Kemajuan islam dalam system politik untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, yang memerintahkan didalamnya tidak hanya keterlibatan para laki-laki, tetapi juga wanita. Sebagai perwujudan dari Amr ma'ruf nahy munkar. Inilah aksi politik yang sepenuhnya. Para wanita yang diperbolehkan, tentu saja dapat membantu dalam mengemban tugas (pemerintahan), disebut demikian sebagai implementasi Islam dan usaha untuk menegakkan agama Allah swt diatas bumi melalui jalan intelektual dan perjuangan politik. seperti halnya laki-laki, mereka (wanita) juga harus prihatin dan memperhatikan dirinya dengan urusan-urusan umat. Demikianlah Allah swt telah berfirman dalam surat At-Taubah: 71.
Islam datang dengan membawa tuntunan syariah, kepada laki-laki dan wanita. Serta telah dijelaskan didalamnya aturan-aturan syariah, yang mana membicarakan tentang masing-masing amalan atau tindakan. Dan Itu tidaklah dapat memberi hasil untuk persamaan (hak) tidak juga dapat memberikan pertimbangan yang sepele. Itu agaknya dianggap bahwa adanya hal spesifik yang menjadi problem yang membutuhkan solusi. Yang kemudian akan dibicarakan dalam kapasitasnya sendiri seperti masalah-masalah khusus yang mencermati apakah itu merupakan problem yang menyinggung laki-laki dan wanita. Jadi, solusinya adalah hal tersebut merupakan amalan untuk sekalian manusia, untuk kejadian atau peristiwa sebuah masalah, dan bukan untuk laki-laki ataupun wanita saja. Oleh karena itu, pertanyaan tentang kesetaraan atau kurang sejajarnya antara laki-laki dan wanita bukanlah hal yang patut untuk didiskusikan. Ini merupakan sebuah ekspresi yang tidak terdapat dalam perundang-undangan Islam.
Oleh sebab itu, persamaan antara laki-laki dan wanita bukan persoalan untuk diperdebatkan, bukan juga persoalan yang merupakan subjek dalam sistem sosial Islam. Wanita menjadi setara dengan laki-laki, ataupun laki-laki menjadi setara dengan wanita bukanlah urusan penting, yang mana telah berpengaruh kepada kehidupan sosial luas, dan bukan merupakan fenomena yang seharusnya terdapat dalam kehidupan Islam. Tapi adalah sebuah ungkapan yang hanya ada di Barat. Dan sama sekali tidak ditemukan pada komunitas muslim, kecuali bagi mereka yang meniru budaya Barat, yang berarti telah melanggar hak-hak alamiah wanita itu sendiri dalam kapasitasnya sebagai manusia. Maka dari itu, kemudian mereka menamakannya sebagai restitusi (pemulihan) hak-hak tersebut.
Islam telah memerintahkan para wanitanya, seperti yang telah diperintahkan pula kepada laki-laki, untuk selalu memperhatikan urusan umat. Mereka (wanita) juga diperkenankan dan didorong untuk ikut serta dalam perpolitikan selama hal itu tidak membahayakan tugas utamanya sebagai istri dan ibu. Dalam islam, itu merupakan kewajiban wanita untuk menyampaikan dakwah dan melaksanakan aturan atau pemerintahan.
Bagaimanapun kontribusi wanita tidaklah dapat disamakan seperti laki-laki. Dalam bidang politik, wanita tidak diperkenankan untuk memegang posisi kendali atau pemimpin seperti khalifah, wakilnya, wali, atau aktivitas lainnya yang dikategorikan sebagai pemegang kuasa.
Hal demikian bukanlah sebuah anggapan bahwa wanita dilarang untuk memimpin dikarenakan mereka tidak mampu atau bermutu rendah untuk menanggung beban pemerintahan. Agaknya, fakta-fakta dalam Islam secara rinci melarang pekerjaan tersebut untuk mereka, bahwasanya Allah swt Maha mengetahui yang terbaik. Sebagai hasil atas aturan-aturan demikian, maka tidak akan ada pertanyaan tentang keganjilan antara laki-laki dan wanita dalam Islam, sibuk dalam beberapa bentuk sejarah peperangan untuk kekuasaan dan martabat. Tidak seperti Barat, dimana seorang wanita berkompetisi langsung dengan laki-laki dalam lingkungan yang didominasi oleh laki-laki. Tetapi dalam Islam kedua-duanya saling melengkapi, maka dari itu mereka bisa bekerja dengan sesuai untuk mencari Ridho Allah swt.Q.S. An-Nisaa': 32.
Wanita, bagaimanapun diakui layak untuk berkecimpung dalam dunia politik, seperti diangkat sebagai pamong praja pemerintah yang mana dia betul-betul dipertimbangkan sebagai pekerja (staf). Atau di bagian kehakiman yang berprofesi sebagai hakim, dimana dia bisa melatih dirinya dalam memberi keputusan atas kasus-kasus dalam persidangan hukum. Begitu juga mereka diperkenankan menjadi anggota majlis-majlis umat, yang jelas berbeda dari parlemen Barat, tidak termasuk dalam aturan struktural tetapi cukup sebagai anggota yang ikut berkecimpung dan memberi pertimbangan kepada pemimpin dalam implementasinya terhadap Islam. Bahkan juga berhak untuk memonitor pemimpin dan menyampaikan kritik atau saran ketika mereka tidak memenuhi tugasnya dengan rasa hormat terhadap urusan-urusan umat.
Sedangkan di Barat sendiri wanita harus berjuang, bahkan sampai abad ke-20 masih mencari haknya untuk memberikan suaranya dalam pemilihan. Islam bahkan telah memberikan haknya semenjak 14 abad yang lalu, bukan hanya memberikan mereka ijin (hak), tapi juga menerima bay'at mereka atas khalifah, sebanding dengan laki-laki.
Wanita Muslimah Terdahulu Dalam Politik Islam
Setelah kelahiran Islam, wanita diikutsertakan dalam politik yang belum pernah ada sebelumnya. Hal itu sekarang merupakan tugas mereka untuk menyampaikan dakwah dan amr ma'ruf nahi munkar dalam hidup bermasyarakat. Demikianlah yang sudah dipelopori oleh para sahabiyyat (ra), yang telah ikut serta dalam perpolitikan dimana Rasulullah saw pun juga meminta pertimbangan dari mereka dalam urusan politik.
Ummu Salamah (ra), salah satu istri Nabi saw yang berunding kepadanya mengenai perihal perjanjian Hudaibiyah. Ummu Salamah ra menasehati beliau untuk mengambil langkah-langkah seperti dengan menenangkan emosi yang timbul dikalangan para sahabah ra, yang hampir berputus asa dalam memecahkah masalah yang terjadi saat itu.
Hak wanita untuk berpolitik dalam Islam termasuk mendapat otoritas memberi bay'at kepada orang yang tidak ikut berperang dari serangan non-muslim. Ketika Rasulullah saw datang ke Mekah, Ummu Hani bint Abi Thalib, memberikan perlindungan kepada beberapa keluarganya. Kemudian ia pergi ke Rasulullah saw mengadu meskipun telah dijanjikannya dengan perlindungan, saudaranya, Ali bin Abi Thalib ra, menginginkan untuk menghukum mati dua dari mereka karena telah diketahui membahayakan orang muslim dan akan memerangi mereka. Oleh karena itulah Ummu Hani bint Abi Thalib memainkan peran pentingnya dalam politik dengan membangun rumah sakit.
Walaupun wanita tidak diperkenankan untuk memimpin, tapi kita masih melihat wanita terdahulu dalam pemerintahan. Hal ini telah dikabarkan oleh Umar bin Khattab ra bahwa beliau telah mengangkat Al-Shifa, wanita dari bangsanya, sebagai market judge. Yang berwenang untuk memberi keputusan terhadap pelanggaran hak rakyat (publik).
Memastikan kesetiaan negara terhadap Syariah, dan memperhatikan segala macam deviasi atau penyimpangan, adalah tanggungjawab yang penting bagi wanita seperti halnya laki-laki. Contohnya seorang wanita yang berperan dalam pemerintahan Umar bin Khattab ra, setelah beliau melaksanakan khutbah di masjid, dimana beliau mensarankan batas nilai yang mungkin di ajukan untuk mahar. Ketika beliau selesai berkhutbah, seorang wanita berdiri lalu bertanya, "Siapa anda yang memberi batasan atas apa yang Allah swt dan Rasul-Nya tidak membatasinya?" kemudian Umar menyadari kesalahannya, lalu berkata: "Wanita ini adalah benar, dan Umar yang salah." Kisah ini membuktikan betapa wanita pada zaman itu faham akan syari’ah dan tidak takut untuk menyatakan kesalahan khalifahnya walaupun didepan massa.
Praktek Politik Wanita Muslim Zaman Sekarang
Umat pada zaman Nabi saw akan menghadapi ujian bila ditiadakannya negara Islam dari kehidupan. Sekalinya umat bersatu pada zaman Rasulullah saw akan terpisah pisah dan berhambur keseluruh alam. Dalam ketiadaan sebuah negara, wanita tidak mempunyai kehormatan, tidak berhak memberi suaranya dipolitik, dan mereka dihimpit oleh banyak pemimpin-pemimpin yang jawabannya adalah panggilan Barat. Melibatkan diri dalam permainan politik kotor. Bagaimanapun, ketiadaan suatu negara dan larangan implementasi man-made law bukanlah maksud bahwa muslim membebaskan mereka dari semua peran politik. Akan tetapi semua tugas itu ditanggung oleh seluruh muslim, laki-laki dan wanita, bersatu dan bekerja untuk kembali membangun agama Allah swt melalui jalan politik; karena untuk masalah politik hanya bisa diatasi dengan solusi politik juga.
Bekerja sebagai kelompok kolektif atau partai sudah diterangkan dalam Q.S. Al-Imraan: 104. Seperti mengharuskan untuk berpolitik, bahwa sebagai muslim juga mengetahui urusan politik, dan tidak naif terhadap dunia sekitar mereka. Karena itu merupakan kewajiban setiap muslim, laki-laki maupun wanita, untuk bangkit dalam masa-masa krisis, dan berkecimpung seperti pada gerakan-gerakan politik.
Bagi wanita, aturan mereka untuk berpolitik dibutuhkan untuk selalu aktif di lingkungan dimana mereka tinggal. Mereka harus mengajak keluarga mereka, teman lama, teman baru, kenalan-kenalan, atau siapa saja yang bisa diajak berjuang dijalan Allah swt. Diwajibkan kepada setiap suami untuk mendukung istrinya, dan setiap istri untuk mendukung suaminya pula dalam urusan demikian. Setiap ibu haruslah memiliki tanggungjawab besar ini dan menanamkan kepada anak-anak mereka dengan konsep Islam yang kuat, membentuk generasi kedepan dalam perpolitikan dan berdakwah.
Konklusi
Tidak seperti ideologi atau peradaban lainnya, Islam, dari awal bermulanya, telah mengakui hak-hak wanita dan tugas-tugas mereka. Politik dalam Islam bukanlah suatu sistem yang diambil dari laki-laki saja, seperti kebebasan dan demokrasi atau memberi mereka ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Pandangan Islam, untuk kedua belah pihak dalam politik. Merupakan salah satu dari kepatuhan total kepada jalan Allah swt. Bukan untuk menundukkan wanita atas laki-laki. Kedua-duanya mempunyai kewajiban sama untuk shalat, puasa, zakat, menyampaikan dakwah dan memyebarkan kalimat Allah swt. Setiap muslim tanpa menghiraukan gender, harus memandang Islam dalam berupaya untuk memecahkan problem politik mereka. Hal ini telah disebutkan balasan atas mereka oleh Allah swt, seperti yang telah difirmankan pada Q.S. Al-Ahzab: 35.
Indosat Blog Contest (SinyalKuat.co.cc)

Custom Search
Minggu, 09 Maret 2008
PERAN WANITA DIDUNIA POLITIK*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Custom Search
Tidak ada komentar:
Posting Komentar